RUU Kesehatan, Mandatory Spending Seharusnya di Cantumkan dalam Antisipasi Wabah

AKM • Wednesday, 5 Jul 2023 - 13:42 WIB

Jakarta - Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law terus mendapatkan perhatian termasuk diantaranya terkait dengan mandatory spending. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyesalkan hilangnya mandatory spending dalam RUU  Kesehatan Omnibus Law karena sangat dibutuhkan ketika terjadi wabah di Indonesia.

Kurniasih dari Fraksi PKS ini menilai besaran persentase mandatory spending layanan kesehatan menjadi hal penting untuk menjamin kelancaran pengendalian wabah.

“Dari berbagai ketentuan penanggulangan wabah dalam RUU Kesehatan, yang kami sesalkan hilangnya mandatory spending. Karena bicara wabah, membutuhkan biaya yang besar," ujar Kurniasih dalam Forum Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/6).

Kurniasih menjelaskan bahwa merujuk pada undang-undang eksisting, besaran mandatory spending atau pengeluaran negara yang diatur undang-undang ditetapkan minimal sebesar lima persen untuk APBN dan 10 persen untuk APBD.

Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi panduan sebesar 15 persen untuk alokasi dana kesehatan di setiap negara.

"Setidaknya kembali ke UU eksisting minimal lima persen untuk APBN dan APBD, walau kami mintanya 10 persen," katanya.

Dia berharap Pimpinan DPR dapat menyampaikan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait urgensi mandatory spanding dalam RUU Kesehatan. 

Karena menurut dia, RUU Kesehatan baru disetujui di pengambilan keputusan Tingkat I atau di Komisi IX DPR sehingga masih belum terlambat untuk memasukan mandatory spanding dalam draf RUU tersebut.

"Mudah-mudahan mandatory spanding bisa muncul presentase fix-nya, sehingga kita merasa lebih fix jaminan anggarannya tersedia. Apalagi untuk antisipasi wabah dan KLB, pasti membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, terbukti kemarin anggaran kita langsung naik ketika pandemi COVID-19 karena membutuhkan biaya yang sangat luar biasa dan vaksin kita kemarin juga masih banyak impor dan seterusnya," ujarnya.