MK Putus Pemilu Terbuka, Jaga Stabilitas Pemilu 2024

AKM • Friday, 23 Jun 2023 - 11:52 WIB

Jakarta - Anggota MPR dari DPD, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, MH, mengatakan semua pihak harus menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Keputusan itu final dan mengikat sehingga stabilitas tetap terjaga dan persiapan pemilu bisa berjalan lancar.

“Mahkamah Konstitusi telah memutuskan sistem pemilu, yaitu Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Keputusan itu sudah final dan mengikat sehingga tidak usah dibicarakan lagi. Kita hormati dan kita laksanakan saja putusan MK tersebut sehingga stabilitas tetap terjaga dan persiapan Pemilu dan Pilpres serta Pilkada 2024 bisa berjalan lancar,” kata Jimly dalam diskusi Empat Pilar MPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/6).

Menurut Jimly, munculnya ide sistem pemilu proporsional tertutup bukan tanpa sebab.

“Pasti ada alasan-alasan logisnya. Kita juga perlu mendengar alasan sistem pemilu tertutup ini. Karena itu, ke depan perlu juga dipikirkan apakah sistem proporsional terbuka ini sudah ideal atau masih banyak kelemahannya. Mana yang lebih banyak, manfaatnya atau mudharatnya,” ujarnya.

Jimly menambahkan sistem proporsional terbuka tidak membantu pelembagaan partai politik, di antara caleg satu partai bisa bermusuhan. Sebaliknya sistem proporsional tertutup jangan dianggap tidak bermanfaat. Sebab, dengan proporsional tertutup maka terjadi pelembagaan dan penguatan kepartaian lebih efektif. Selain itu, dengan sistem proporsional tertutup bisa mencegah demoralisasi politik.

Pemilu bukan soal menang atau kalah. Kualitas dan integritas demokrasi kita juga ditentukan oleh moralitas dalam politik, moralitas kepemimpinan. Jangan semua pemimpin yang kita pilih ini transaksional. Ini berbahaya,” imbuh Senator dari DKI Jakarta ini.

Namun, lanjut Jimly, sistem proporsional tertutup juga harus ada syaratnya. 

“Kalau partai masih tertutup seperti sekarang dan demokrasi di internal partai belum tumbuh, maka proporsional tertutup bisa berbahaya karena hanya satu orang yang menentukan, yaitu Ketua Umum Partai, yang regenerasinya turun temurun menjadi dinasti politik,” jelasnya.

“Sembilan partai (di parlemen) saat ini hanya ada sembilan orang Ketua Umum. Dia yang menentukan capres, cawapres, termasuk nomor urut Caleg. Artinya tidak ada demokrasi di internal partai. Partai tertutup sama sekali,” sambungnya.

Jimly melanjutkan, syarat untuk penerapan sistem proporsional tertutup antara lain ada proses demokrasi di internal partai, adanya keterbukaan partai, modernisasi partai sudah berjalan. 

“Ke depan, menurut saya, memang lebih tepat menggunakan sistem proporsional tertutup. Tetapi dengan syarat-syarat tadi,” katanya.

Sementara itu, anggota MPR dari Fraksi PKB, Syaiful Huda mengatakan pemilu dengan sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup masing-masing memiliki plus dan minusnya.

“PKB siap dengan sistem manapun. Ketika MK memutuskan sistem proporsional terbuka, kita menangkap semangatnya adalah jangan sampai terjadi politik transaksional yang lebih parah lagi ke depan. Sistem proporsional terbuka atau tertutup punya potensi (politik transaksional) yang sama. Tapi prinsipnya kita ingin mengakhiri secepatnya politik transaksional ini,” katanya.

Syaiful Huda menambahkan tantangan sistem proporsional terbuka lebih berat. Selain harus memperkuat peran partai, partai juga harus mampu menyeleksi banyak figur (caleg).

 “Kita harus jujur, dengan sistem proporsional terbuka, caleg harus berkompetisi dalam dua level sekaligus, yaitu level di internal partai dan level di luar partai. Di dalam internal partai terjadi kompetisi antar caleg untuk mendapatkan suara terbanyak. Pada saat yang sama, caleg harus berkompetisi dengan caleg eksternal dari partai politik lain. Ini tentu tidak mudah,” terangnya.