Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Anak, KPAI: Restorative Justice Melukai Korban

LAN • Wednesday, 7 Jun 2023 - 13:30 WIB

Jakarta - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita mengatakan masih banyak hambatan implementasi Undang-undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dian menyampaikan penyidik atau pihak penegak hukum menghadapi hambatan dalam proses keadilan kasus kekerasan seksual karena kurang saksi. Padahal, berdasarkan UU TPKS, keterangan saksi korban didukung dengan pemeriksaan visum sudah cukup. 

“Kita tahu pasti kekerasan seksual berada di tempat privat. Pasti saksinya sangat minim. Maka dari itu, gunakan pasal UU TPKS. Untuk menjerat pelaku, gunakan UU perlindungan anak,” ujar Dian dalam program Trijaya Hot Topic, Rabu (7/6/2023). 

Ia menekankan kasus kekerasan seksual pada anak tidak ada istilah “bujuk rayu” atau “suka sama suka” karena pelaku memiliki niat-niat khusus yang dapat mengancam hidup anak.

Berdasarkan data KPAI selama dua pekan terakhir, tercatat hampir 100 anak telah menjadi korban kekerasan seksual.

"Pemulihan satu anak saja membutuhkan waktu yang panjang, energi yang luar biasa, dan biaya yang tinggi. Bagaimana dengan 1000 anak? Ini sangat memprihatinkan," tuturnya. 

Dian menjelaskan bahwa KPAI telah mendorong dan mengingatkan pemerintah pusat atau daerah dan kementerian lembaga untuk melakukan intervensi pencegahan dari sektor pendidikan dan di lingkungan pengasuhan, serta intervensi pengurangan resiko terhadap kelompok masyarakat yang kerentanannya tinggi. Seperti masyarakat menengah bawah, putus pendidikan, dan pengasuhan rentan perlu diberikan intervensi secara khusus oleh pemerintah.

"Ini kerja semua pihak. Tidak hanya aparat penegak hukum, dinas sosial, kementerian KPPA, tapi semua pihak, masyarakat juga termasuk," kata Dian. 

Dian menegaskan bahwa langkah Restorative Justice (RJ) yang dilakukan oleh Polri dalam menangani TPKS merupakan langkah yang tidak tepat dan melanggar UU Perlindungan Anak dan UU TPKS. 

"Di Polri ada aturan restorative justice, tapi (seharusnya) untuk kasus-kasus yang ringan. Kita tahu kasus-kasus KS ini dengan pelaku dewasa, bukan kasus ringan. Ini kasus kekerasan, bahkan dianggap kejahatan. Kalau restorative justice, ini sangat melukai korban, keluarganya, dan masyarakat. Tidak sesuai prinsip RJ dan melanggar UU Perlindungan Anak dan TPKS," pungkasnya. (Salsa)