SETARA Institute: Intoleransi Siswa SMA di 5 Daerah Indonesia Mengkhawatirkan

LAN • Thursday, 18 May 2023 - 21:46 WIB

SETARA Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyelenggarakan survei kondisi toleransi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), untuk memperoleh gambaran terkini situasi dan kondisi toleransi siswa. Diseminasi hasil survei tersebut diadakan di Sadjoe Cafe and Resto, Jakarta Selatan, pada Rabu (17/5/2023). Acara tersebut diadakan secara luring dan daring melalui siaran langsung di akun Youtube SETARA Institute. 

Hasil survei dijelaskan oleh Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute. Sementara itu, penanggap dari diseminasi dihadiri oleh Retno Listyarti selaku Komisioner KPAI 2017-2022, Rizka Antika selaku Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID, Muhammad Mukhlisin selaku Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, dan Fikri Fahrul Faiz selaku Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 

SETARA Institute menggambarkan kondisi toleransi siswa ke dalam empat kategori, yakni toleran, intoleran pasif, intoleran aktif, dan potensi terpapar. Kategorisasi tersebut digunakan sebagai acuan kerangka analisis untuk menggambarkan transformasi dari toleransi hingga terpapar radikalisme atau terorisme. 

Adapun responden survei adalah siswa-siswa SMA di lima kota Indonesia, yaitu sejumlah 947 siswa dari 19 sekolah negeri dan 33 sekolah swasta di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang. Durasi survei pun dilakukan dari 14-24 Februari 2023 lalu. 

Survei berisikan 12 pertanyaan yang dikembangkan oleh SETARA Institute. Berdasarkan penemuan dari kompilasi jawaban responden, penelitian tersebut menemukan kecenderungan yang positif pada hampir semua pertanyaan. Dibuktikan dengan pertanyaan penerimaan perbedaan keyakinan (99,3%), penerimaan ras dan etnis (99,6%), empati terhadap kelompok yang berbeda agama (98,5%), dan dukungan pada kesetaraan gender (93,8%). 

Namun, ketika berpindah ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, kecenderungan toleransi siswa semakin menurun. Sebanyak 20,2% siswa tida bisa menahan diri untuk melakukan kekerasan dalam merespons penghinaan agama yang dianut. Lalu, persepsi siswa tentang negara Barat juga cenderung negatif. Negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan Australia dianggap seperti ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia disetujui 51,8% responden. 

Terkait sikap responden terhadap penggunaan jilbab di sekolah, sebanyak 61,1% menyatakan setuju bahwa mereka merasa lebih nyaman jika semua siswi di sekolah menggunakan jilbab. Sedangkan 38,9% lainnya menyatakan tidak setuju.

Temuan terkait syariat Islam sebagai landasan bernegara, juga didukung oleh 56,3% responden. Oleh karenanya, dukungan terhadap persepsi bahwa Pancasila sebagai bukan ideologi yang permanen, artinya bisa diganti, juga sangat besar yakni 83,3% responden.

Sebanyak 74,4% responden menyatakan tidak setuju jika agama lain selain agama yang diyakini dianggap sesat. Tetapi kebersetujuan membela agama, termasuk harus mati, justru sangat tinggi di angka 33%.

Disimpulkan bahwa sebanyak 70,2% remaja atau siswa SMA mask ke dalam kategori remaja toleran, 24,2% merupakan remaja intoleran pasif, 5% merupakan remaja intoleran aktif dan 0,6% merupakan remaja yang berpotensi terpapar.

“(Respon pertanyaan) poin dua, tiga, empat, dan lime itu semua bagus. Tapi, ketika pertanyaan kunci keenam sampai dua belas, itu menurut saya mengkhawatirkan semua,” ujar Fikri Fahrul Faiz. 

Pada kesempatan yang sama, sebagian besar penanggap menyinggung hasil survei tentang penggunaan jilbab di sekolah. Rizka Antika berpendapat bahwa pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah berpotensi menjadi trauma kepada murid. 

“Simbol atau ajaran agama yang sebenarnya baik, karena dipaksakan, jadi membawa trauma kepada anak tersebut. Pakai jilbab hanya di sekolah saja, karena untuk memuaskan pihak yang memiliki kuasa (di sekolah). Seperti dasi dan topi, bukan lagi sebagai simbol agama,” tutur Rizka Antika. 

Berdasarkan hasil temuannya, SETARA Institute menyusun empat rekomendasi yang bisa diimplementasikan oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan Indonesia. Pertama, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), melalui Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), yang dibentuk dengan Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021, terus meningkatkan kualitas dan persebaran program-programnya hingga ke semua jenjang pendidikan dan melibatkan berbagai elemen masyarakat pendidikan.

Kedua, para penyelenggara pendidikan meningkatkan pembudayaan wawasan kebangsaan dan mainstreaming toleransi dalam pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah. Dua variabel in memiliki korelasi positif sebagai pembentuk karakter toleransi siswa.

Ketiga, Kemdikbudristek dan Kementerian Agama (Kemenag) membentuk instrumen pembinaan yang efektif bag guru-guru Agama dan guru Pendidikan Kewarganegaraan, termasuk memberikan fasilitas peningkatan kualitas pengajaran sehingga semakin kontributif pada pemajuan toleransi di sekolah.

Keempat, Kemdikbudristek dan Kemenag merespons mash tingginya kategori siswa yang intoleran aktif dan terpapar radikalisme, membentuk instrumen pengawasan, pembinaan, dan desain respons yang demokratik atas fakta intoleransi yang melekat pada guru, tenaga kependidikan, dan siswa. (Salsa)