Sistem Kerja Outsourcing Ancam Kesejahteraan Pekerja Perempuan

LAN • Wednesday, 17 May 2023 - 18:20 WIB

Jakarta - Baru-baru ini, media sosial Twitter digemparkan dengan utas mengenai seorang karyawan perempuan di perusahaan yang berlokasi di Cikarang karena mendapatkan ajakan staycation oleh atasannya untuk mendapatkan perpanjangan kontrak kerja.

Salah satu alasan topik ini menjadi perbincangan hangat ialah keberanian korban untuk speak up mengenai perilaku tidak menyenangkan yang diterima dari atasannya, karena faktanya di luar sana masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan ruang aman di lingkungan kerja.

Menanggapi hal ini, Nining Elitos sebagai Aktivis Buruh menyatakan bahwa Indonesia masih melakukan legitimasi diskriminasi terhadap perempuan yang mana seharusnya setiap manusia memiliki hak ruang dan kesempatan yang sama dan tanpa diskriminasi.

“Apalagi disampaikan bahwa kekerasan dan pelecehan, saya meyakini, saya adalah mantan pekerja di industri. Setiap hari kita berhadapan dengan persoalan kekerasan baik fisik maupun non fisik termasuk pelecehan terhadap perempuan” kata Nining kepada Radio Trijaya dalam Suara Perempuan, Rabu (17/05/23).

Ditambah lagi, adanya Omnibus Law dan Permenaker 05 tahun 2023 kini mengancam kesejahteraan para buruh kontrak karena mengeluarkan kebijakan bahwa perusahaan memiliki hak dalam memotong upah buruh hingga 25%.

“Ini juga membuat pemerintah yang seharusnya memberi jaminan perlindungan pekerja justru melahirkan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Karena, lebih dari 80% buruh di industri padat karya isi pekerjanya adalah perempuan,” tutur Nining.

Selain buruh kontrak, sistem kerja kontrak alih daya outsourcing juga mengalami pergeseran akibat adanya UU Ciptaker yang memungkinkan para pekerja tersebut untuk masuk ke ranah bisnis utama seperti kegiatan produksi.

“Ini menandakan pasar kerja sudah sangat fleksibel dan tidak didukung dengan bagaimana mengupayakan pemenuhan perlindungan yang memastikan untuk pekerja,” tutur Tiasri Wiandini, Komisioner Komnas Perempuan Jakarta.

Pasar kerja yang fleksibel menyediakan ruang bagi para pelaku outsourcing untuk menerapkan aturan yang memicu toxic competition, contohnya penetapan minimal usia pekerja 19 tahun dan maksimal usia 22 tahun yang kemudian membatasi usia produktif lainnya yang seharusnya memiliki hak dan akses yang sama dalam meningkatkan produktivitas.

Tidak hanya menghilangkan hak cuti maternitas bagi perempuan saja, tetapi banyak pelaku outsourcing juga menetapkan syarat tidak tertulis berupa larangan hamil bagi para pekerjanya. 

“Kami harap menaker menata ulang ketenagakerjaannya, menguatkan pengawasannya di disnaker setempat. Ini yang selalu kita dorong agar fungsi pengawasan benar-benar memberi kontribusi untuk memastikan pekerja benar-benar mendapat haknya,” kata Tias. (Iftikhor)