Peneliti UGM: Motif Separatisme KKB Semakin Sporadis Sejak Pemerintah Gencar Membangun Papua

• Tuesday, 18 Apr 2023 - 10:12 WIB

Jakarta - Peneliti sekaligus dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele menyatakan bahwa bahwa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) semakin bergeliat bahkan sporadis sejak tahun 2016. Dia mengemukakan bahwa tahun 2016 menjadi tahun dimana pemerintah gencar melakukan pembangunan di tanah Papua.

Hal itu disampaikannya pada dialog yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Chapter Universitas Muhammadiyah Yogyakarta  (UMY) dengan tajuk Aksi Kekerasan dan Terorisme Kelompok Separatis di Papua, Senin (17/4/2023).

“Motif separatis menjadi motif utama dan eskalasi motif separatis mulai menaik sangat signifikan sejak tahun 2016. Mari kita rekleksikan ada apa di tahun 2016? Atau masa-masa setelah itu?,” tanya Gabriel kepada para audiens yang disiarkan langsung channel youtube FPCI UMY.

Gabriel menerangkan bahwa faktor Presiden Jokowi dikenal sebagai presiden paling sering ke Papua. Serta gencarnya langkah-langkah pembangunan dan percepatan infrasturuktur sedikit banyak memicu dan memcau gerakan separatis dan eskalasinya.

“Karena itu refleksi terdalamnya adalah bagaimana memosisikan hubungan antara tindak kekerasan  dengan gerakan pembangunan. Apakah ini dapat meredam konflik atau memacu konflik lanjutan,” lanjut Gabriel.


Gabriel mengidentifikasi gerakan KKB akhir-akhir ini menampakkan skalanya yang semakin masif. Kenekatan KKB semakin tinggi cenderung semakin percaya diri. “Bagaimana tidak, 36 aparat TNI dan ini bukan dari unit sembarangan, unit Kopasus. kemudian diserang dan nasibnya belum jelas, konon ada 9 yang disandera KKB minta ditebus. Mudah-mudahan tidak ada eskalasi lebih lanjut,” jelas Gabriel.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh tim peneliti UGM, Gabriel mengemukakan titik-titik sporadis KKB tidak hanya pos keamanan yang dijaga TNI dan Polri. Tapi juga pemukiman warga sipil yang kerapkali dibakar KKB. Lebih miris lagi, ketika masyarakat sipil justru yang paling banyak menjadi korban meninggal akibat kebrutalan KKB.

“Dari data yang kami himpun sampai juli 2022, lingkungan aparat termasuk Polsek dimana intinya ada kelompok aparat yang bertugas menjadi sasaran utama dari KKB. Tapi di luar itu, kita melihat ada eskalasi sebenarnya sudah semakin sporadis, brutal, tidak hanya pos-pos aparat bertugas, tapi juga wilayah perkampungan dimana sipil yang tidak memahami apa-apa antara Pusat dan Daerah itu banyak sekali kasusnya,” terang Gabriel.

“Semakin canggih peralatan yang dibawa aparat, semakin menarik perhatian KKB untuk diserang. Karena itu lingkungan aparat TNI/Polri menjadi sasaran utama serangan KKB,” sambungnya.

Gabriel kemudian memberikan solusi bagi pemerintah dengan menggunakan tiga pendekatan. Diantaranya adalah; dialog dan trust-building initiatives, pembangunan yang sensitif konflik dan langkah penegakkan hukum yang tegas tetapi humanis.

“Yang harus digarisbawahi adalah dialog versi kacamata Papua adalah referendum. Ini yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Pusat untuk mengadakan dialog,” pungkas Gabriel.

Sementara itu, Koordinator Tim Terpadu Percepatan Pembangunan dan Kesejahteraan Bidang Polhukam Provinsi Papua, John A. Norotouw memetakan bahwa perubahan di Papua dipicu oleh tiga perubahan besar.

“Saya hari ini berbicara sebagai seorang tokoh yang ikut terlibat dalam persoalan papua meredeka dan melihat ke masa depan di bawah NKRI.” tutur Norotouw. “Papua hari ini dipicu oleh perubahan-perubahan yang terjadi di Papua. Saya mempunya beberapa term waktu untuk menggambarkan bagaimana konflik terjadi. Pertama, reformasi yang terjadi di Indonesia. Kedua, otonomi khusus yang diberlaukan di Papua. Ketiga, otonomi baru DOB.”

Norotouw menjelaskan bahwa pada 1961-2000 perjuangan kemerdekaan dipimpin oleh masyarakat pesisir. Kemerdekaan ini disebabkan karena diskriminasi dan ketidakadilan bagi warga Papua yang dilakukan Pemerintah Orde Baru.

“Beberapa pemimpin masuk ke dalam negeri untuk mendorong otonomi khusus harus dilaksanakan. Ketika ruang yang kosong itu diisi oleh Beny Wenda, mereka adalah pemimpin dari pedalaman Papua. Terjadilah kolaborasi orang sedaerah itu menghasilkan kekuatan di Tanah Papua seperti di Pedalaman hari ini,” kata Norotouw.


Norotouw mempertanyakan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh KKB. Baginya kemerdekaan yang diperjuangkan oleh KKB sudah usang dilekang zaman dan out update.

“Kemerdekaan yang harus diperjuangkan adalah kemerdekaan pada kelompok-kelompok masyarakat terbelakang, miskin, bodoh, dan memiliki kesempatan yang sama di bumi yang sudah maju,” tegas Norotouw.

Norotouw mendesak agar pemerintah bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu dan membangun format mengangkat Dewan Adat Papua.

“Negara bertanggungjawab peristiwa kekerasan masa lalu dan harus diselesaikan secara bermartabat. Negara harus bangun format baru dengan mengangkat dewan adat Papua semacam barometer yang mengatur kepentingan negara di Papua,” pungkas Norotouw.

Sedangkan narasumber ketiga disampaikan oleh akademisi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah. Dia menyebutkan bahwa akar masalah di Papua karena terjadinya marginalisasi dan diskriminasi atas penduduk asli.

“Sedikitnya pengakuan atas sumbangan masyarakat Papua bagi pembangunan nasional, terbatasnya infrastruktur di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi, belum tuntasnya pelanggran HAM di masa lalu. Perlu ada upaya seperti pemberdayaan ekonomi berbasis pasar agar mewujudkan masyarakat Papua yang sejahtera,” pungkas Teuku Rezasyah.