Pemimpin Pencemaran Lingkungan Hidup dengan Sampah Plastik AMDK

ANP • Friday, 10 Mar 2023 - 20:13 WIB

JAKARTA - Beragam tanggapan mencuat menyusul publikasi yang menyebutkan Danone, perusahaan global asal Prancis, sebagai produsen penyampah plastik kemasan terbesar di Indonesia, sepanjang tahun 2022. Pengumuman hasil audit merek oleh organisasi lingkungan Sungai Watch ini tak ayal memicu reaksi tentang perilaku investasi asing  yang sepertinya tanpa kontrol di Indonesia.

Sebelumnya, audit merek  terbaru juga dilakukan oleh organisasi lingkungan berskala internasional Break Free From Plastic (BFFP), sepanjang 2018-2022. Hasilnya, Danone berada dalam 10 besar pencemar sampah plastik terbesar di dunia bersama Coca Cola, PepsiCo, Unilever dan Nestle. BFFP juga secara rutin menempatkan Danone di posisi puncak penyampah plastik terbesar di Indonesia.

Tiga tahun berturut-turut, Danone didapuk sebagai perusahaan penyandang predikat penyampah kemasan plastik terbesar oleh Sungai Watch yang berpusat di Bali.

“Danone di Indonesia adalah market leader dengan market share air minum dalam kemasan (AMDK) sebesar 45%, sehingga adalah lumrah saja apabila kemasan produk Danone  mendominasi sampah di lingkungan,” kata Ketua Net Zero Waste Management Consortium, Ahmad Safrudin, dalam rilisnya yang menanggapi temuan Sungai Watch (7/3).

“Masalahnya justru tidak wajar sebagai market leader, karena Danone punya beban moral untuk menjadi contoh pelaksanaan good corporate governance (GCG) dan Environmental Social Governance (ESG), apalagi Danone adalah perusahaan multinasional yang sudah go public dan terikat pada ketentuan sertifikasi di berbagai bidang, termasuk di bidang lingkungan hidup,” katanya.

Ahmad Safrudin mengatakan, fakta temuan Sungai Watch menunjukkan bahwa Danone telah melakukan perbuatan melawan hukum karena memicu terjadinya pencemaran lingkungan hidup (tanggung renteng pelaku dumping limbah di lingkungan - Pasal 60 dan 104 UUPPLH No 32/2009) dan tidak mematuhi ketentuan peta jalan pengurangan sampah (PermenLHK No 75/2019 yang ditetapkan bersandar pada Perpres 97/2017, Perpres 83/2018, PP 81/2012 dan UU 18/2008).

Menurutnya, terjadinya timbulan sampah di lingkungan adalah indikasi tidak dijalankannya program reduce (pengurangan sampah) dengan upsizing (menghentikan penggunaan kemasan plastik pada volume/bobot kecil), recycle dengan EPR (Extended Producer Responsibility, menarik kembali kemasan produknya untuk didaur-ulang), dan reuse dengan pemanfaatan kembali kemasan plastik yang tidak berisiko pada kesehatan.

Ditambahkannya lagi bahwa selain pelanggaran ketentuan perundangan, hal ini juga pelanggaran business ethics yang berpotensi menggagalkan Indonesia mencapai SDGs (Sustainable Development Goals), terutama goals 10 (reduce inequality among the countries), 11 (sustainable cities and community), 12 (sustainable consumption and production pattern), 13 (climate action), 14 (life under water), 15 (life on land) dan 17 (partnership to the goals).

“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan atau Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus memberikan teguran dan menarik uang paksa untuk pembinaan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sampah,” kata Ahmad Safrudin.

“Bahkan untuk konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, saatnya diberikan sanksi administrasi sebagai langkah awal pengenaan sanksi pidana lingkungan, demi menghentikan pencemaran sampah plastik,” katanya.

Sementara itu, praktisi lingkungan dari Komunitas Peduli Ciliwung, Suparno Jumar, menyoroti investasi asing yang menurutnya perlu lebih dicermati aktivitasnya agar lebih bisa dikendalikan. Karena kata Suparno, “Apabila terlambat ambi tindakan, maka investasi dan keuntungan yang diperoleh akan sia-sia saja.”

“Persoalan single use plastic dari industri besar, menengah dan kecil, harus segera dicarikan solusinya, karena sudah sangat mendesak,” kata Suparno Jumar.

Menurutnya, pemerintah harus bisa menjaga keseimbangan agar industri tetap tumbuh dan mampu menyerap tenaga kerja, “Namun pada saaat bersamaan harus sangat memperhatikan aspek lingkungan.”

Sebelumnya, Sungai Watch menempatkan Danone di posisi puncak berdasarkan audit merek yang dipublikasikan dalam sebuah laporan terbaru berjudul: “Sungai Watch Impact Report 2022”. Kesimpulan ini  diperoleh setelah tim Sungai Watch melakukan penyortiran dan pengauditan sampah plastik berdasarkan merek produk dan produsennya di Bali dan Jawa Timur.

Menurut Sungai Watch,  audit merek untuk pengumpulan data polusi sampah plastik sudah mendesak dilakukan.  

“Tujuannya untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh dari mana sumber sampah plastik,  dan industri apa saja yang bertanggungjawab atas sampah tersebut,” papar Sungai Watch.  

Berdasarkan data 235,218 item sampah plastik dari Bali dan Jawa Timur, sampah plastik produk Danone mencapai rekor tertinggi dengan angka 10%. Dari semua produk milik Danone, kemasan gelas plastik sekali pakai ditemukan menjadi penyampah terbesar  dengan capaian angka 63%, disusul dua merek botol berbahan plastik polyetilena tereftalat/PET (27% dan 5%), tutup galon guna ulang (3%), dan botol minuman ringan (1%).

Posisi penyampah terbesar kedua dalam laporan Sungai Watch diduduki oleh produk Orang Tua,yang mencatatkan 7 persen dari total limbah sampah plastik yang diaudit (95 persen sampah teh gelas). Perusahaan penyampah terbesar ketiga ditempati oleh Wings, produsen minuman ringan dan mie instan.

Berdasarkan laporan Sungai Watch, tim mereka berhasil mengeluarkan 535,246 kg sampah non-organik dari sungai dan laut di Pulau Bali dan pesisir Jawa Timur pada 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 235,218 item diaudit dan dipilah berdasarkan merek.

Sebelumnya di lokasi berbeda, hasil survei Brand Audit Sampah Plastik yang dilakukan Tribunnews Bogor bekerjasama dengan para relawan lingkungan pada 22-27 September 2022 di 11 kelurahan Kota Bogor  yang dilintasi aliran Sungai Ciliwung, menempatkan Danone di posisi puncak sebagai penyampah plastik terbesar dengan kontribusi 40,4 persen, mengalahkan merek AMDK lainnya.