Pengamat Soroti Cara BPS Ambil Data Miskin Ekstrem, Ini Pesan Untuk Heru Budi

FAZ • Thursday, 9 Feb 2023 - 15:01 WIB

Jakarta - Polemik pengambilan data kependudukan di Jakarta bukan hal baru. Persoalan ini kerap muncul ketika adanya berbagai temuan yang berkaitan dengan bantuan sosial dan masyarakat miskin kota.

Terbaru, munculnya informasi terkait warga Jakarta masuk dalam kategori miskin ekstrem yang disampaikan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, Suryana beberapa waktu lalu mencapai 95.668 jiwa atau 0,89%.

Peneliti GMT Institute, Agustinus Tamtama Putra menilai, untuk mengurai fakta angka kemiskinan di Jakarta seperti halnya mencari jarum dalam jerami. Pasalnya, persoalan pengentasan kemiskinan acap kali berhubungan dengan bagaimana cara pengambilan data.

"Ini memang seperti mencari jarum dalam jerami. Betapa tidak, di kota Jakarta dengan bantuan sosial mencapai 16 jenis ini ternyata tidak mampu melepaskan diri dari stigma warga miskin ekstrem," kata Pria yang akrab disapa Tamtam ini di Jakarta, Kamis (9/2/2023).

Menurut Tamtam, pendataan warga menjadi salah satu penyebab utama semakin menguatnya masalah kemiskinan di Jakarta dan kota-kota lainnya. Sehingga, lanjutnya, program pengentasan kemiskinan sering kali menyasar warga yang bukan haknya.

"Kita sering mendengar bagaimana bantuan itu salah sasaran. Masalah ini memang tidak berdiri sendiri. Tetapi, pengambilan sampel data pun sering tidak menggambarkan kondisi lapangan yang sebenarnya," katanya.

Tamtam menuturkan, petugas sensus atau survey di lapangan yang pernah ia temui saat memvalidasi sample data yang sudah dibekali dari BPS. Di lapangan, kata Tamtam, tidak sedikit juga ditemui kerawanan saat petugas menghadapi benturan kepentingan di lingkungan.

"Kerentanan terjadi ketika mereka sudah menerima data warga yang diberi BPS dan dia bertugas memvalidasi. Nah, di titik ini sering terjadi konflik of interest antara warga terdata, lingkungan dan si pendata itu sendiri," sebutnya.

"Belum lagi berbagai kepentingan di lembaga  lembaga based on data masyarakat seperti BPS, Kemensos atau yang lain yang membuat misi dari pendataan bergeser dari bagaimana mengentaskan kemiskinan ke bagaimana menyerap anggaran negara lebih besar," lanjutnya.

Atas hal itu, Tamtam menyarankan agar Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono untuk mengintervensi kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait seperti Dukcapil dan pamong wilayah mulai dari Walikota, Camat dan Lurah sebagai bagian integral dari agenda survey, sehingga lebih ketat lagi dalam mengawasi pengambilan sample data miskin di Jakarta.

"Asumsinya dengan 16 bantuan, jika pengambilan data akurat dan implementasinya tepat sasaran, seharusnya warga berhak mendapat bantuan itu tersasar dengan baik sehingga tidak ada lagi kategori miskin ekstrem di Jakarta," tandasnya.

Dalam strategi on demand yang ditawarkan BPS dimana adanya partisipasi masyarakat melalui forum publik atau kelompok masyarakat, Tamtam mewanti wanti agar dalam pelibatan masyarakat saat pemutakhiran diawasi secara ketat dan sistematis.

Di fase ini, kata Tamtam, kerentanan tersebut nampak lebih besar. Bila mungkin, menurutnya, Pemprov DKI dalam hal krusial seperti ini wajar dan perlu membuat shadow team atau tim bayangan yang teruji sehingga pengawasan data di lapangan semakin kuat.

"Oleh karenanya, Pak Gubernur Heru mesti tegas kepada bawahannya untuk no nego-nego dalam peng-sensus-an, pengambilan data atau pemutakhiran, Jangan lagi asal tugas kelar, asal teman dapat apalagi asal Bapak senang," tegasnya.

"Sehingga pemutakhiran tidak diwarnai perang kepentingan, alias pure pada data miskin sesuai kategori seharusnya atau SOP," pungkasnya.