Jaga Eksistensi Kearifan Lokal, DPRD Jateng Berharap Sintren Masuk Kurikulum

MUS • Friday, 16 Dec 2022 - 15:37 WIB

Pekalongan – Kesenian Tradisional sebagai sebuah kekayaan lokal, harus menjadi kebanggaan dan tuan rumah di negeri sendiri. Untuk itu DPRD Jateng, menginisiasi program Laras Budaya sebagai langkah konkrit dalam melestarikan peninggalan leluhur bangsa ini. 

Kali ini DPRD Jateng kembali menggelar Laras Budaya yang mementaskan kesenian Sintren dan Karawitan khas Kabupaten Pekalongan di gedung Serbaguna Desa Kutorojo, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan, akhir pekan lalu. 

Laras Budaya yang dipandu Ribut Achwandi, pegiat budaya yang juga dosen Sastra UNIKAL (Universitas Pekalongan) mengawali dengan doa lintas agama yang dipimpin oleh tiga tokoh agama, Mangku Ribut (Hindu), Ki Sunaryo (Penghayat),  Turijo (Islam). 

Dalam rangkaian Laras Budaya juga digelar sarasehan budaya, yang menampilkan pembicara Ketua Komisi E DPRD Jateng Abdul Hamid S.Pd.i, Budayawan Mahmud Mansur, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten Pekalongan Saiful Bahri, Ketua Dewan Kesenian Darah (DKD) Kabupaten Pekalongan Joko Heru dan Sekretaris DKD Kabupaten Pekalongan Agus Sulistiyo.

Dialog Budaya kali ini mengusung tema ‘Nguru-Uri Kesenian Budaya Tradisional Kabupaten Pekalongan’  itu moderatori oleh Dendi Ganda dari Trijaya FM Semarang.

Dalam acara yang juga disiarkan oleh radio Trijaya FM Semarang, RDI Pandaran Semarang serta tayang di iNews itu, Abdul Hamid mengatakan DPRD Jateng berkomitmen untuk menjaga semangat para pelaku kesenian agar terus berkesenian di daerah sehingga kekayaan lokal ini semakin berkembang dan dapat dipertahankan dan dilestarikan oleh para seniman generasi muda, tak goyah dengan masuknya budaya asing.

Menurutnya, pagelaran kesenian ini merupakan salah satu momentum untuk membangkitkan kembali kesenian tradisional dan menjaga budaya bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal.

Berbagai budaya lokal, lanjutnya, berperan besar dalam membentuk dan mengembangkan jati diri bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan, untuk itu di sekolah harus memasukan kesenian tradisional sebagai mata pelajaran, termasuk Sintren.

DPRD Jateng, lanjutnya, berupaya ikut serta melestarikan kesenian tradisional dengan mendorong para seniman terutama para generasi muda kembali berkreasi pascapandemi. Bahkan pihaknya juga akan terus memperjuangkan kesenian tradisional daerah mendapat bantuan anggaran daerah pemerintah.

Dia menambahkan DPRD Jateng sangat peduli terhadap kesenian tradisional daerah hingga akan terus didorong agar lebih berkembang ke depan dan menarik hingga semakin dikenal masyarakat luas.

“Para generasi muda harus dapat mempertahankan dan memahami sejarah kesenian tradisional warisan leluhur, seperti Tari Sintren, mengingat tari Sintren ini telah memperoleh penghargaan Nasional,” ujar Abdul Hamid dalam dialog itu.

Abdul Hamid mengajak semua generasi kembali bersama-sama membangkitkan kesenian budaya Indonesia, yang diharapkan bisa lebih berkembang dengan kreasi-kreasi yang menarik.

Sementara itu, Budayawan Mahmud Mansur menuturkan sengaja memilih lokasi di Desa Kutorojo, karena daerah ini sudah kental dengan nasionalisme dengan warga yang berbeda agama tetapi bisa menyatu hidup rukun sejak dulu.

“Kutorojo adalah representasi gambaran Indonesia yang sesungguhnya, dimana nilai-nilai Pancasila diamalkan sehari-hari.  Warga Kutorojo sangat Pancasilais, meski berbeda agama di antaranya ada yang memeluk agama Islam, Hindu dan Nasrani mereka hidup rukun dan gotong royong, termasuk kesenian dan budaya yang menjadi identitas daerah, dikembangkan secara bersama-sama,” tutur Gus Mansur, panggilan akrab Mahmud Mansyur.

Senada, Ketua Dewan Kesenian Darah (DKD) Kabupaten Pekalongan Joko Heru mengapresiasi langkah DPRD Jateng yang terus mendorong para seniman tetap berkreasi dan ikut melestarikan kekayaan budaya bangsa, bahkan wujud itu bisa dirasakan karena ikut menggelar pertunjukkan kesenian tradisional di berbagai daerah seperti sekarang ini.

Menurutnya, di Kabupaten Pekalongan memiliki banyak kesenian tradisional, mengingat di wilayah ini juga terdapat sejumlah Tokoh Kesenian.

Usai berdialog, mulai digelar pertunjukkan tari tari-tarian tradisonal dan Tari Sintren yang dimainkan seniman-seniman muda dari Sanggar Kudo Bekso Utomo dari Desa Pringsurat Asuhan Solikhin.

Penampilan anak muda yang lincah dengan membawakan Tari Sintren dan Karawitan ini sangat memukau para penonton dan masih digemari masyarakat di wiayah Kabupaten Pekalongan.

Kesenian Sintren merupakan tarian peninggalan sejarah jaman dulu dan sampai saat tarian khas Pekalongan itu masih diminati masyarakat.

Menurutnya, sejarah Sintren berawal dari kisah Raden Suladono sebagai putra Ki Temenggung Baureksono, hasil perkawinan nya dengan Dewi Rantamsara. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, ayah Sulandono.

Akhirnya Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus terjalin walaupun melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamasara yang memasuki roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula kekasihnya Raden Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan Sulandono.

Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidari oleh pawangnya, dengan catatan hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci. (Den)