Penyusunan RKUHP Partisipatif dan Menjamin Demokrasi

FAZ • Saturday, 26 Nov 2022 - 09:59 WIB

Jakarta - Menanggapi adanya kritik dari sebagian publik tentang Rancangan KUHP yang dinilai tidak partisipatif dan tidak demokratis karena tidak mendengarkan aspirasi publik, Juru Bicara (Jubir) Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries menyampaikan bahwa pandangan tersebut tidak tepat.

"Tidak benar jika dikatakan bahwa penyelesaian pembahasan RKUHP tidak partisipatif dan bermakna, sebab cukup banyak masukan dan aspirasi masyarakat sipil yang sudah diakomodosi perumus RKUHP “ ujar Albert kepada media pada Sabtu ( 26/11).

“Misalnya penghapusan kata “dapat” dalam penjatuhan pidana mati sebagai pidana khusus yang bersifat alternatif kemudian reformulasi pasal penodaan agama yang telah disesuaikan dengan konvensi hak sipil dan politik (ICCPR), serta pencabutan pasal 27 ayat 1 dan 3 serta pasal 28 ayat 2 UU ITE dari ketentuan sektoralnya,“ ujarnya.

“Bukankah itu adalah masukan dan aspirasi masyarakat sipil dan para aktifis," lanjut Albert.

Albert meminta agar jangan sekali-kali mengartikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dalam penyusunan UU sebagai penerimaan penuh atas seluruh masukan/usulan yang diberikan, apalagi memaksakan pendapat yang sesungguhnya bukan merupakan ciri berdemokrasi.

“Penyesuaian sanksi pidana atas tindak pidana pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Bab Tindak Pidana Khusus di RKUHP sudah dihitung dan diukur secara objektif berdasarkan modified delphi method dan hanya mengambil  core crimes dari UU Sektoralnya,“ kata Albert.

Albert pun menegaskan mengenai tindak pidana pengembangan atau penyebaran komunisme, marxisme-leninisme kan sudah ada sejak dahulu dalam UU No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP berkaitan dengan kejahatan keamanan negara. Pasal-pasal tersebut tidak pernah dibatalkan oleh MK dan memiliki pengecualian bagi yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat diri Presiden/wapres dan juga Pasal 240 RKUHP tentang Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara (sudah dimerger dengan Pasal 347 RKUHP) semuanya sudah diberikan uraian penjelasan yang cukup untuk dapat membedakan mana kritik dan delik (penghinaan).

“Sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berdemokrasi, serta mengadopsi ketentuan pasal 6 huruf d UU No 40 tahun 1999 tentang Pers yaitu kritik, saran, koreksi yang berkaitan dengan kepentingan umum,“ pungkas Albert.