Soal Tulisan Heru, Dimensi Politik di Jakarta Penting Dipertegas Pasca Tak Lagi IKN

FAZ • Wednesday, 23 Nov 2022 - 06:00 WIB

Jakarta - Kepala Prodi Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, FX Gian Tue Mali menekankan pentingnya aspek politik dalam transformasi DKI Jakarta pasca-pemindahan ibu kota negara.

Gagasan Jakarta Kini dan Nanti dari Pj Gubernur DKI Heru Budi Hartono memang ditegaskan hanya berfokus pada aspek ekonomi DKI Jakarta di masa depan dan dampaknya bagi Indonesia.

“Persoalannya adalah pembangunan daerah dalam aspek ekonomi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang multidimensional juga, salah satunya adalah faktor politik,” kata Gian, Selasa (22/11/2022).

Menurut Gian, faktor politik harus menjadi perhatian, sebab pindahnya ibukota negara, tidak secara otomatis menghilangkan dinamika politik di daerah ini yang selalu mempengaruhi program pembangunan ekonomi.

Hal ini dipertimbangkan dari berbagai alasan. Pertama, Jakarta masih menjadi pusat kegiatan politik. Jakarta yang selama puluhan tahun menjadi pusat pulau Jawa, pulau yang dipenuhi 56,05% penduduk Indonesia, tentu saja akan tetap menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan politik.

Kedua, kepadatan penduduk yang berimplikasi pada beragamnya kepentingan politik dan perilaku politik.

Gian menuturkan, pembelajaran dari pemindahan sebagian pusat pemerintahan dari Seoul ke Sejong tidak mengurangi populasi Seoul sama sekali yang tetap menjadi kota terpadat yang diisi lebih dari 10 juta jiwa dengan intensnya pertarungan politik antara kelompok konservatif dengan kelompok liberal.

Begitupun DKI Jakarta, kata Gian, yang pertarungan politik antara kelompok konservatif, liberal-demokratik, atau pertarungan politik antar etnis, pendatang dengan masyarakat asli, hingga kelompok agama masih terus terjadi.

"Tentu saja perbedaan Indeks Pembangunan Manusia Seoul dan DKI Jakarta memiliki perbedaan yang signifikan, di mana turut mempengaruhi perilaku politik,” jelasnya.

Gian memberikan catatan, landasan pembangunan DKI Jakarta di masa yang akan datang sebagai kota digital, kota global berketahanan dan berkelanjutan, menjadi langkah berikut setelah salah satunya mempertimbangkan faktor urbanisasi yang akan semakin meningkat menyusul makin atraktifnya Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis.

“Oleh karena itu membicarakan transformasi DKI Jakarta sebagai sebuah kota baru yang bukan lagi berstatus sebagai ibukota negara tidak bisa dibicarakan dari satu aspek saja, seolah aspek tersebut berdiri sendiri," tandasnya.

"Transisi pemindahan ibukota negara perlu diberi perhatian khusus agar pembangunan ekonomi DKI Jakarta dapat terlaksana secara sistematis, sinergis dan memenuhi unsur keadilan sosial,” sambungnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik GMT Institute Jakarta, Agustinus Tetiro mengatakan, belum tersentuhnya aspek politik dalam artikel Jakarta Kini dan Nanti dari Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono (HBH) bisa dipahami, karena HBH tampil sebagai praktisi birokrasi dalam pemerintah pusat yang ditempatkan sebagai Pj Gubernur DKI.

Sentuhan dan tilikan dari aspek politik dari para akademisi dan politisi tentu saja diperlukan untuk memperkaya pandangan kita mempersiapkan Jakarta menjadi kota dunia setelah pemindahan ibu kota.

“Opini Pak HBH di Kompas (Jakarta Kini dan Nanti, 21/11/22, hlm.6) kemarin adalah suatu undangan untuk sumbang saran demi sukses Jakarta untuk Indonesia. Pak HBH membuka ruang diskusi yang konstruktif,” jelas Gusti, sapaan akrab Agustinus Tetiro.

Menurut Gusti, Jakarta akan tetap atraktif setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara. Dengan rencana pembangunan dan pengembangan seperti yang diuraikan HBH, Jakarta masih punya daya tarik.

Daya Tarik inilah yang mesti dijaga agar tetap berkualitas dan tidak didistorsi oleh masalah-masalah sosial sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar dunia.

“Awasan tentang urbanisasi ke pusat kota bisnis dan masalah kependudukan seperti yang diuraikan Gian harus menjadi catatan bagi kita di Jakarta,” ungkap Gusti.

Gusti optimistis, dimensi dan kondisi politik di Jakarta akan lebih kondusif setelah pemindahan ibu kota, karena pusat pemerintahan telah dibagi secara bertahap ke IKN.

"Politik di Jakarta ke depan kemungkinan besar lebih sebagai isu ekonomi politik dan keberpihakan kepada kesenjangan ekonomi daripada perebutan kekuasaan dan isu korupsi," tutup Gusti.