Regulasi Pelabelan BPA Kemasan Galon, Bentuk Diskriminasi dan Melanggar Kepentingan Publik

ANP • Friday, 18 Nov 2022 - 00:03 WIB

Jakarta - Kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terus menuai kontroversi di kalangan akademisi. 

Draft awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga mengenyampi ngkan kepentingan publik lainnya yakni, kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat. Narasi perlindungan kesehatan publik yang menjadi dasar kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai tidak memenuhi urgensi. 

Hal ini disampaikan dua pakar lintas keilmuan yakni pakar nutrisi dan polimer pada diskusi bersama media hari ini (17/11/2022) dengan tajuk Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi. 

“Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan. Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum. Jadi bila mau ada pelabe lan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” jelas Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB). 
Sejumlah fakta yang ada di antaranya kebutuha n konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari AMDK dengan suplai 29 miliar liter per tahun. Sementara menurut data UNICEF hampir 70% sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses. Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli . 
“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 ge las per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya. Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” ujar Prof. Sulaeman. 
Kendati begitu, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi, risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA. Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D , pada kesempatan yang sama mengkr narasi yang dibangun tersebut. Ia menyampaikan kebijakan ini cenderung diskriminatif.
“Jadi kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya. Terkait bahaya, harus meli hat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif. Harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi, dan lama kontak. Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya.” ujar Zainal. 
Ia menambahkan juga bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan faktafakta ilmiah. “Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betulbetul teredukasi,” terang Ir. Akhmad Zainal. 

Kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat diketahui sudah digunakan lebih dari 38 tahun di Indonesia. Sampai hari ini, para ahli seperti Prof. Sulaeman maupun Ir. Akhmad Zainal sepakat, belum pernah mendengar ada orang yang meni nggal atau sakit akibat keracunan air minum dari galon polikarbonat. 
“Polikarbonat itu adalah plastik yang aman, dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan,” terang Ir. A khmad Zainal. 
Tanpa adanya urgensi dan kecenderungan diskriminatif terhadap salah satu kemasan air minum, membuat para ahli seperti Prof. Sulaeman menyimpulkan, kebijakan pelabelan BPA pada galon belum perlu. 
“Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu buru hal tersebut,” ujar Prof. Sulaeman.buru. Belum ada data untuk mendukung Salah kaprah lain terkait kebijakan ini adalah kekeliruan rencana melabeli kemasan galon plastik sekali dengan label bebas BPA. 
“Karena memang bahan baku kemasan galon sekali pakai PET bukan BPA. Jadi yang perlu ditulis pada kemasan itu adalah mengandung Etilen Glikol, karena bahan baku PET itu Etilen Glikol, juga ada tambahan zat lainnya yakni, antimon. Sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan plastik sekali pak ai. Tapi kemudian tibatiba mendorong penggunaan galon sekali pakai. Itu kan tidak rasional,” pungkas Ir. Akhmad Zainal.