KTT G20 Bali, Momentum Indonesia Tingkatkan Politik Diplomasi di Dunia Internasional

AKM • Thursday, 10 Nov 2022 - 11:11 WIB

Jakarta - Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menegaskan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 G20 di Bali pada 15 hingga 16 November mendatang bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan politik diplomasinya di dunia internasional saat ini.

Indonesia bisa mendorong perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung selama 9 bulan ini, segera diakhiri dan meminta semua negara yang bertikai berkomitmen menjaga perdamain dunia.

Sebab, dunia saat ini di ambang mata terjadinya Perang Dunia (PD) III pasca bergabungnya Belarusia, China, Iran dan Korea Utara ke Rusia melawan NATO, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya dalam perang Rusia-Ukraina.

"Ini momentum bagi dunia, kalau Indonesia bisa mempertemukan kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara-negara yang bertikai. Saya yakin, itu bisa menjadi nobel prize (penghargaan nobel) bagi presiden, karena bisa menghadirkan perdamaian," kata Hikmahanto dalam Gelora Talk Bertajuk 'Babak Baru Perang Rusia-Ukraina dan apa dampaknya bagi Dunia?, Jakarta, Rabu (9/11).

Karena itu, Hikmahanto berharap para diplomat Indonesia bisa mendukung upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, terutama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak hadir di KTT G20.

"Kemudian memfalitasi pertemuan bilateral diantara kepala negara dan kepala pemerintahan yang hadir. Ada pembicaraan cukup 30 menit saja, tidak perlu lama-lama. Tetapi, intinya negara-negara yang bertikai berkomitmen kepada perdamaian," katanya.

Hikmahanto menilai situasi KTT G20 di Bali saat ini mirip dengan situasi pertemuan Bretton Woods, New Hampshire pada 1944 pasca PD II. Ketika itu, AS dan Inggris selaku pemenang PD II melahirkan tiga institusi keuangan dunia yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), selain membentuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

"Pertemuan G20 ini, sama peristiwa sepertinya Bretton Woods tahun 1944. Negara pemenang berkumpul dan menentukan sistem dunia di masa datang. Bedanya sekarang semua negara bertikai berkumpul, nah kalau Indonesia bisa mempertemukan semua kepala negara dan pemerintahan itu, bisa tercipta perdamaian dunia," tandasnya.

Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani di sela-sela mewisuda mahasiswanya ini menilai, keberadaan PBB untuk menyelesaikan konflik atau sengketa antar negara sudah tidak efektif lagi, karena tidak bisa mengambil keputusan secara langsung.

"PBB itu tidak efektif, karena hanya diwakili dubes. Nah, di G20 dihadiri langsung kepala negara dan kepala pemerintahan, sehingga akan cepat diambil keputusan. G20 ini sangat krusial, karena tidak ada forum lagi seperti itu dalam waktu dekat," katanya.

Menurut Hikmahanto, banyak negara yang sudah 'mencolek' Indonesia, tidak hanya negara yang bertikai saja, tetapi negara-negara lain. Mereka berharap Indonesia bisa memfasilitasi perdamaian, dan perang Rusia-Ukraina diakhiri.

"Semua negara saat ini bergantung kepada Indonesia yang sedang menyelenggarakan G20. Tidak perlu mencari mana yang benar dan mana yang salah. Tetapi perlu ada komitmen antar negara untuk tidak menggunakan kekerasan, baik dari Rusia dan Ukraina, khususnya Amerika Serikat, Inggris dan negara NATO lainnya yang mendukung Ukraina. Yang penting ada perdamaian, dan kita berharap tidak terjadi Perang Dunia III," tegasnya.

Sementara itu, Peneliti Senior Pusat Strategis, Badan Riset Dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengatakan, era sekarang masih saja perang senjata sebagai solusi mengatasi konflik, termasuk dalam Perang Rusia-Ukraina.

Rusia menganggap persoalan wilayah harus diselesaikan melalui pengerahan senjata. Rusia perlu menunjukkan pengaruhnya pasca runtuhnya Uni Soviet, dan butuh pengakuan kebesarannya sekarang dengan menginvasi Rusia. 

Sebab, Ukraina sebelumnya bagian dari Uni Soviet dan dalam kehidupannya juga tidak terlepas bayang-bayang Rusia. Namun, Ukraina justru mulai condong ke AS dan sekutunya. Terbukti, saat Ukraina diinvasi sebagian wilayahnya oleh Rusia meminta bantuan dari AS dan sekutunya.

"Akibatnya, dampak perang ini tidak hanya kedua negara, tetapi  berdampak kepada negara lain, terutama terkait kebutuhan pangan dan energi di seluruh dunia. Dengan begitu, persoalan perang menjadi lebih meluas ke ekonomi dunia dan kawasan," kata Nanto.

Peneliti Senior Pusat Strategis BRIN ini memuji langkah Partai Gelora yang memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak lebih lanjut perang Rusia-Ukraina. Karena perang Rusia-Ukraina secara langsung berdampak ke masyarakat banyak, meskipun perangnya jauh Indonesia.

"Saya harus menyampaikan pujian kepada Partai Gelora ini bagian dari edukasi yang sangat penting kepada masyarakat dan pengambil kebijakan. Sebab, para peneliti BRIN, pernah beberapa saat dianggap, bahwa kajian luar negeri itu tidak dianggap penting. Ngapain kita mengkaji luar negeri," ungkapnya.

Padahal mantan Presiden Soekarno membentuk Gerakan Non Blok dan mantan Presiden Soeharto membentuk ASEAN ketika itu memiliki tujuan yang sangat penting, yakni tidak hanya memperhatikan kepentingan domestik saja, tetapi juga kepentingan kawasan dan geopolitik.

"Jadi kita jangan hanya memikirkan kepentingan nasional atau domestik saja, tetapi juga bersama-sama negara lain memikirkan apa yang terjadi di luar. Ini penting, bukan untuk masyarakat umum saja, tetapi juga untuk dicision maker (pengambil kebijakan) agar kita balance memperhatkan urusan yang terjadi di luar. Karena kita rasakan dampaknya, meskipun secara geografis jauh, dan apa yang terjadi di Rusia-Ukriana itu secara langsung berdampak ke masyarakat banyak," tegasnya. 

Ketua Bidang Hubungan DPN Partai Gelora Indonesia Henwira Halim menambakan, perang Rusia-Ukraina saat ini terus menunjukkan peningkatan ekskalasi menuju PD III. Sehingga situasi ini membuat kekhatiran semua pihak, terutama negara-negara di Eropa yang akan memasuki musim dingin.

"Eropa akan dilanda musim dingin sehingga membuat kekhawatiran sendiri karena pasokan gas terganggu. Suasana cederung memperlihatkan situasi memanas," kata Henwira.

Wira, sapaan akrab Henwira Halim berharap Indonesia bersiap-siap terhadap terhadap segala dampak Perang Rusia-Ukraina apabila situasi semakin memanas seperti memulai kemandirian dalam pangan dan energi.

"Tetapi kita juga harus realistis, bahwa kemandirian itu bukan berarti kita terisolasi. Artinya, kita ini juga tidak bisa hidup sendirian seperti kalau terjadi bencana alam, kita perlu bantuan dan membantu negara lain," katanya.

Namun, situasi dan dampak perang Rusia-Ukraina sebenarnya telah diantisipasi Partai Gelora dengan mengusulkan visi menjadikan Indonesia 5 besar dunia. Artinya, Indonesia tidak hanya harus unggul secara militer, tetapi juga secara ekonomi, diplomasi, pendidikan dan sumber daya manusia..

"Program Partai Gelora menjadikan Indonesia 5 besar dunia adalah pekerja rumah bersama. negara kita arahnya gimana? itu semua tergatung kita semua," pungkasnya.