Prof. Dr. Anwar Daud: Pelabelan BPA Kemasan Kaleng lebih cocok ketimbang AMDK 

ANP • Wednesday, 9 Nov 2022 - 18:58 WIB

JAKARTA - Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA menegaskan kontaminasi Bisfenol A (BPA) secara signifikan lebih tinggi pada kemasan kaleng daripada makanan non kaleng seperti makanan segar, makanan beku, dan kemasan plastik. Jadi, menurutnya, jika mau melabeli “berpotensi mengandung BPA” itu lebih cocok kepada kemasan kaleng ketimbang kemasan air. 

“Tapi, kalaupun berencana mau melabeli kemasan pangan, harusnya semua kemasan itu harus dilabeli dengan menyatakan ini bebas  bahan berbahaya. Jangan ada diskriminatif kalau mau mengamankan kemasan pangan. Kalau mau dilabeli, ya semua harus dilabeli,” ujarnya di acara kegiatan workshop “Penggunaan Bahan Bisphenol A (BPA) Pada Makanan dan Minuman” yang diselenggarakan Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan di Hotel Mercure Jakarta, Selasa (8/11). 

Dia mengatakan penerapan label pada semua kemasan pangan tanpa terkecuali itu mengingat meskipun penelitian BPOM menyatakan itu masih di bawah standar, tapi kalau khusus dari alasan kesehatan, kalau itu dikonsumsi terus menerus akan berbahaya juga. 

Dia juga tidak setuju dengan BPOM yang menyatakan pelabelan BPA ini tidak berlaku untuk depot air minum isi ulang. Menurutnya, justru wadah-wadah air yang digunakan untuk mengisi air minum depot isi ulang itu patut dikhawatirkan karena bisa saja menggunakan wadah-wadah yang tidak berstandar. “Kalau masyarakat itu kan banyak yang lebih memilih murahnya saja. Jadi wadah-wadah yang digunakan juga kualitas KW 3,” katanya. 

Sebelumnya, pakar polimer  dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin juga mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya. “Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan itu bisa beracun,” ujarnya.
 
Dia mengatakan bahaya migrasi BPA yang disebabkan kemasan kaleng penyok dan tergores ini lebih besar dibanding jika itu terjadi pada galon air yang berbahan Policarbonat (PC). “Kalau galon kan sudah diuji penyok atau tidak penyok migrasi BPA-nya itu rendah. Apalagi bagian luar dan dalam galon itu kan terbuat dari bahan PC. Jadi kalaupun pecah juga tetap keluarnya Policarbonat juga. Tapi kalau kaleng kemasan, itu bagian dalamnya epoksi. Jadi, ketika dia penyok, epoksinya akan sobek dan menyebabkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya,” tuturnya. 

Karenanya, jika BPOM mau melakukan pelabelan lolos batas aman BPA, menurutnya, kemasan kaleng ini seharusnya yang lebih diutamakan ketimbang galon air berbahan PC.  Kata Ahmad Zainal, barang-barang seperti plastik itu bersifat inert atau tidak bereaksi, baik dalam asam maupun basah. “Jadi, plastik itu nggak terlalu masalah dengan situasi asam ataupun basah. Yang bermasalah itu adalah kemasan kaleng karena ada lapisan epoksinya, di mana jika terkelupas bisa membuat produknya beracun,” tukasnya. 

Dokter Spesialis Anak dan anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Irfan Dzakir Nugroho, SpA, M Biomed, juga mengatakan kandungan BPA ini juga bisa ditemukan pada produk-produk kebersihan, seperti pasta gigi, pipa suplai air bersih, dan produk tambal gigi 


Pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustino Zulys, juga mengatakan BPOM perlu juga melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA yang ada dalam makanan kemasan kaleng seperti yang dilakukan terhadap kemasan plastik berbahan PC. Hal itu karena sudah ada penelitian yang dipublikasikan oleh Environmental Research yang menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan kaleng berhubungan dengan tingginya konsentrasi BPA dalam urin.
 
Sementara itu,  Pakar Teknologi Pangan IPB, Aziz Boing Sitanggang, beberapa waktu lalu mengatakan kecenderungan BPA itu untuk bermigrasi  dari kalengnya ke produknya bisa berpotensi lebih besar dan bisa lebih kecil. “Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya. 
 
Disebutkan, proses migrasi BPA dari kemasan kaleng itu bisa disebabkan beberapa faktor. Di antaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu,  dan pindah  panas dari produk pangannya