Komisioner LMKN Baru Diduga Akibatkan Carut Marut Pengelolaan Royalti Musik Di Indonesia

ANP • Tuesday, 18 Oct 2022 - 16:17 WIB

JAKARTA - Keluarnya Surat Keputusan Nomor: M.HH-02.KI.01.04.01 Tahun 2022 tentang Penetapan Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pemilik Hak Terkait di Bidang Lagu dan/atau Musik, Yang selanjutnya disebut sebagai "SK Pengangkatan Komisioner", dinyatakan telah melanggar berbagai ketentuan hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yang berujung pada carut marutnya pengelolaan royalti musik di Indonesia. 

SK Pengangkatan Komisioner yang diterbitkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menteri Hukum dan HAM) pada tanggal 3 Juni 2022 ini pada pokoknya berisikan pengangkatan Komisioner LMKN 2022 - 2025 dan mencabut SK Komisioner LMKN 2019-2024 (SK Nomor M.HH-01.KI.01.08 Tahun 2019 tanggal 28 Januari 2019). Adapun uraiannya dapat dibaca secara lengkap pada tautan https://dgip.go.id/artikel/detail-artikel/menkumham-lantik-komisoner-lmkn-database-musik-jadi-prioritas-kerja?kategori=agenda-ki. 

Atas dasar hal tersebut, Marulam Juniasi Hutauruk, Rien Uthami Dewi dan Rapin Mudiardjo yang selanjutnya dapat disebut "Komisioner LMKN Jilid 2" telah mengajukan gugatan hukum melalui Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta (PTUN) pada Rabu (31/8/2022.

Mereka menyampaikan bahwa gugatan tersebut diajukan karena ada indikasi yang jelas dan dugaan yang sangat kuat bahwa Penerbitan Surat Keputusan yang adalah Objek Sengketa tersebut dilakukan dengan melanggar berbagai ketentuan hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang berujung pada carut marutnya pengelolaan royalti musik di Indonesia. 

"Menteri ini melanggar hukum prosedural dan juga hukum materiil yang seharusnya tidak boleh ia langgar. Cara-cara yang tidak mengindahkan hukum adalah bentuk kesewenang-wenangan. Kami sebagai praktisi hukum tentu punya beban moral untuk meluruskan hukum dan menguji keputusan seorang Menteri Hukum dan HAM ini apakah telah sesuai dengan hukum atau malah melanggar? Jangan membuat eksperimen yang tidak perlu  mengenai collection royalti public performance, padahal kita tahu adanya conflict of interest yang pasti akan terjadi bila LMK-LMK tidak dapat mempertanggungjawabkan hitungan distribusi royalti nya kepada si Pemilik Hak, kan?" kata Marulam J Hutauruk, Selasa (18/10/2022).

Ia menyampaikan, dalam pengajuan gugatan hukum, Komisioner LMKN Jilid 2 didampingi dan atau diwakili oleh para Kuasa Hukum yang tergabung dalam Koalisi Pembela Insan Musik Indonesia (KLaSIKA) yang terdiri dari Advokat Sabar Simamora, SH., Fredrik J. Pinakunary, SE.,SH, Iwan Sunaryoso, SH., Wide Afriandy, SH., dan Arman Priyo Prasojo, SH., MH. 

Tim Kuasa Hukum Komisioner LMKN Jilid 2 menyatakan Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat tata usaha negara dituntut bertanggungjawab atas akibat hukum yang ditimbulkan dari penerbitan Objek Sengketa tersebut, berupa pemberhentian Komisioner LMKN Jilid 2 tanpa penjelasan dan jauh dari kata cermat. 

Surat Keputusan yang muatannya diduga sarat dengan benturan kepentingan (conflict of interest) itu pun, lanjut mereka, telah melahirkan keadaan baru berupa pengangkatan Komisioner LMKN 2022-2025, padahal Peraturan Menteri Nomor 36 Tahun 2018 ("PerMen 36 Tahun 2018") dan atau SK Pengangkatan Komisioner LMKN Jilid 2 ternyata masih berlaku karena belum pernah dicabut oleh Menteri Hukum dan HAM. 

"Dengan masih berlakunya SK Pengangkatan Komisioner LMKN Jilid 2, seharusnya Menteri Hukum dan HAM tidak bertindak ceroboh, tindakan mana terlanjur terjadi. Damage already done! Reputasi Komisioner LMKN Jilid 2 terlanjur rusak karena dipecat tanpa diadili oleh Kementerian yang seharusnya mengedepankan hukum dan hak asasi manusia, dalam hal ini hak asasi Komisioner LMKN Jilid 2," kata Tim Kuasa Hukum.

Pelanggaran prosedur jelas dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, sehingga pemberhentian Komisioner LMKN Jilid 2 telah dieksekusi secara sewenang-senang. Berdasarkan PerMen 36 tahun 2018, ada alasan-alasan yang tega sdan jelas yang seharusnya diberikan Menteri Hukum dan HAM ketika hendak memberhentikan Komisoner LMKN Jilid 2 sebelum masa kerjanya berakhir. 

Dalam gugatan yang telah diajukan, Komisioner LMKN Jilid 2 meyakini adanya bentuk kesengajaan dalam bentuk "constructive fraud" terdiskripsikan dengan berbagai mislead atau deceive another.  

Fakta membuktikan bahwa SK Pengangkatan Komisioner LMKN 2022-2025 tersebut telah dibuat dengan mengundang banyak pihak terkait, namun Komisioner LMKN Jilid 2 tidak pernah diundang untuk didengarkan penjelasan mereka, atau setidak-tidaknya dijelaskan apa saja kesalahan mereka yang menjadi penyebab pemberhentian premature karena belum waktunya berakhir, padahal Komisoner LMKN Jilid 2 adalah pihak yang langsung terkena dampak penerbitan SK dimaksud.  

Setelah Menteri Hukum dan HAM menerbitkan SK Pengangkatan Komisioner LMKN 2022-2025, Komisoner LMKN Jilid 2 pun mengirimkan Keberatan kepada yang bersangkutan sesuai dengan prosedur hukum yang harus dilaksanakan  sehubungan dengan urusan administrasi pemerintahan, berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa Menteri Hukum dan HAM selaku Pejabat TUN pun tak bergeming untuk melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan. 

Tata kelola royalti musik di Indonesia harus kita dudukkan dalam kerangka hukum yang benar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tidak boleh ada kesewenangan dan kedzoliman oleh siapa pun juga, termasuk Menteri Hukum dan HAM, mengingat apa yang menjadi amanah dari LMKN sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemungutan royalti musik tidaklah mudah dan harus dilakukan dengan usaha terbaik (best effort) demi kepentingan para pemangku kepentingan (stake holders) yang berhak. 

"Berdasarkan alasan-alasan itulah, Para Komisioner LMKN Jilid 2 mengajukan gugatan agar PTUN mengeluarkan Putusan yang menyatakan bahwa Menteri Hukum dan HAM telah melakukan pelanggaran Hukum dan HAM, dan juga tidak memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan ketentuan hukum dan yang tak kalah pentingnya adalah telah melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik," pungkas Tim Kuasa Hukum.