Rapor Pendidikan, Akses Sekolah Sudah  Capai 70 Persen 

AKM • Tuesday, 4 Oct 2022 - 13:25 WIB

Bogor -  Rapor Pemdidikan menjadi salah satu program unggulan dari Merdeka Belajar. Rapor pendidikan dalam bentuk data dan digital ini menjadi cara yang dinilai efektif memetakan pendidikan Indonesia.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mencatat sekitar 70 persen sekolah saat ini sudah login ke aplikasi rapor pendidikan. Targetnya, akhir tahun 2022 ini semua sekolah baik SD, SMP maupun SMA sudah login ke aplikasi rapor pendidikan yang merupakan bagian dari Merdeka Belajar episode ke-19.

“Masih ada 30 persen yang belum login. Sebagian besar karena kendala akses internet dan sebagian lagi karena belum paham betul soal rapor pendidikan ini,” ujar Plt Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Kemendikbudristek Irsyad Zamjani di Bogor, Minggu (2/10) lalu.

Karena itu di samping terus mencari solusi terkait kendala akses internet, pihaknya juga melakukan sosialisasi kepada sekolah-sekolah dan dinas pendidikan tentang pentingnya rapor pendidikan ini.

Irsyad  menilai rapor pendidikan merupakan terobosan baru untuk mengevaluasi kinerja sekolah secara menyeluruh dan terintegrasi. Model evaluasi ini dinilai sebagai model evaluasi yang paling efektif, efisien dan tepat sasaran.

“Memang sebagai sesuatu yang baru, sekolah-sekolah masih tahap adaptasi, tahap belajar dan memahami apa itu model rapor pendidikan,” jelas Irsyad.

Tetapi ia yakin bahwa nantinya semua sekolah akan login aplikasi rapor pendidikan. Mengingat jenis evaluasi ini memang benar-benar membuat warga sekolah tidak lagi disibukkan oleh berbagai evaluasi yang tumpang tindih dan merepotkan seperti sebelum-sebelumnya. Dan sekolah maupun guru dapat melakukan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat dibanding mengisi lembaran evaluasi pendidikan.

Melalui satu aplikasi, maka evalusi pendidikan baik terkait siswa, model pembelajaran, guru-guru, kepala sekolah, kondisi lingkungan belajar dan peran masyarakat atau lingkungan tergambar dengan lebih riil. Dengan cara demikian maka hasil evaluasi bisa lebih dimanfaatkan untuk mengintervensi kebijakan guna memajukan sekolah yang bersangkutan.

“Data profil dan rapor pendidikan ini bisa menjadi referensi bagi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melakukan evaluasi. Evaluasi ini bisa bersifat internal maupun eksternal,” katanya.

Dari hasil rapor pendidikan ini menurut Irsyad juga memungkinkan sistem akreditasi sekolah bisa dilakukan lebih cepat dan efisien. Sebab selama ini akreditasi sekolah sering terkendala oleh kegiatan visitasi dari tim penilai. Dengan aplikasi rapor pendidikan ini, kegiatan visitasi bisa diminimalisir bahkan boleh tidak dilakukan sepanjang system evaluasi memungkinkan.

Irsyad menyebut bahwa rapor pendidikan disusun dengan kerangka alur input, proses dan output, dengan logika 8 standar nasional pendidikan. Dari kerangka ini, lalu disusun lima dimensi yang terdiri atas dimensi mutu dan relevansi hasil belajar siswa, dimensi pemerataan pendidikan yang bermutu, dimensi kompetensi kinerja guru dan tenaga kependidikan, dimensi mutu dan relevansi pembelajatan dan dimensi pengelolaan sekolah yang partisipatif, transparan dan akuntabel.

Dengan model evaluasi pendidikan berupa rapor pendidikan, jelas Irsyad, kini ruang kepala sekolah tidak perlu lagi penuh dengan tumpukan dokumen evaluasi. “Dengan satu platform satu instrument, tetapi semua kebutuhan evaluasi bisa terakomodir,” katanya.

Selain itu, rapor pendidikan tidak lagi mengenal pemeringkatan sekolah atau satuan pendidikan. System ini hanya memuat kondisi satuan pendidikan yang ditandai dengan warna seperti hijau, kuning dan merah. Pewarnaan tersebut berkaitan dengan hal-hal apa yang perlu menjadi catatan sekolah dan dinas pendidikan untuk memperbaiki satuan pendidikan tersebut.

Irsyad juga mengingatkan bahwa rapor pendidikan bukanlah sebuah kebijakan untuk menghukum satuan pendidikan atau sekolah. Rapor pendidikan semata-mata memang memetakan kondisi sekolah, melihat gambaran secara riil kondisi sekolah sehingga pemerintah dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam rangka memajukan sekolah.

“Karena itu, kami meminta sekolah untuk jujur dan apa adanya. Tidak perlu mengganti atau memanipulasi data, apalagi mengganti siswa yang dijadikan responden evaluasi. Kalua hasilnya tidak valid, pasti yang rugi juga pihak sekolah,” tandas Irsyad.