Aspadin Dinilai Tak Punya Standar Usia Pakai Galon

ANP • Thursday, 22 Sep 2022 - 16:38 WIB

JAKARTA - Wajar bila akhir-akhir ini masyarakat semakin resah dengan tidak adanya kepastian keamanan air minum dalam kemasan (AMDK) galon polikarbonat yang selama ini mereka konsumsi. Temuan rembesan Bisphenol A (BPA) dalam air galon polikarbonat yang melebihi ambang batas di enam daerah perlu direspons cepat oleh semua pihak. Bila lambat bertindak, dikhawatirkan nantinya bisa menimbulkan masalah baru berupa bencana kesehatan yang  berdampak ke mana-mana.  
Sejauh ini, langkah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai sudah tepat dengan melakukan revisi aturan pelabelan pangan olahan. Secara teknis, hal ini dilakukan dengan melakukan penyebaran informasi dan edukasi melalui pelabelan kemasan galon guna ulang, dengan mempertimbangkan keamanan dan kesehatan masyarakat. 

Namun, BPOM ibarat membangunkan pihak industri AMDK yang selama puluhan tahun keenakan menikmati keuntungan di tengah minimnya kontrol terhadap produk mereka. Tidak adanya kontrol pasca produksi AMDK galon keluar dari pabrik ini diakui terang-terangan oleh  Ketua Umum  Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Rachmat Hidayat, saat Workshop Aliansi Jurnalis Independen bertema

“Zat-zat Kimia pada Pangan dan Kemasan: Pengawasan dan Perlindungan Pemerintah”, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen, di Jakarta (17-18/9).

“Saya jawab tidak ada, belum ada,” kata Rachmat tentang standar perawatan dan masa pakai galon guna ulang. Aturannya pun belum ada, kata dia enteng.

“Kalau pemerintah punya inisiatif mengadakan peraturan soal  ini, kami dengan senang hati  akan ikut membantu pemerintah dalam membentuk peraturan tersebut.”

Selama puluhan tahun pula, industri AMDK nyaman karena tidak ada yang kritis mempertanyakan keamanan terkait masa pakai  galon guna ulang, tidak ada yang menggugat ketiadaan kontrol  galon yang terpapar matahari, terguncang atau terbentur selama  waktu transportasi dan saat dipajang di tempat-tempat penjualan sebelum dikonsumsi  masyarakat. 

Rachmat bahkan berani  mengklaim, selama 40 tahun digunakan di Indonesia, AMDK galon guna ulang tidak menimbulkan masalah kesehatan. Artinya, menurut dia, masyarakat tetap sehat minum air dari galon guna ulang, walaupun ironisnya Aspadin tidak punya mekanisme yang mengatur masa pakai  dan perawatan galon yang digunakan berulang-ulang selama bertahun-tahun. Apalagi, seperti dikatakannya, pemerintah pun tak punya aturan soal ini.

Pembiaran yang berbahaya ini sudah berlangsung terlalu lama dan sekarang pihak industri seolah bangun dari tidur, setelah BPOM berencana mengeluarkan regulasi pelabelan galon demi kepentingan masyarakat luas. Bangun dari tidur, Aspadin  malah menjadi penentang utama regulasi BPOM yang dinilai akan merugikan bisnis AMDK galon guna ulang yang selama puluhan tahun tak pernah diusik.
“Kami mohon kepada BPOM untuk tidak mengeluarkan aturan (pelabelan) ini,” kata  Rachmat Hidayat tegas.

“Kehidupan (bisnis) kami terancam dengan draf aturan ini.” 

Bagi pengusaha AMDK galon guna ulang, menjaga bisnis mereka tampaknya jauh lebih penting daripada kesehatan jutaan masyarakat Indonesia yang jadi konsumennya. Itu pula sebabnya, banyak dalih dilontarkan untuk mengalihkan persoalan bahaya BPA, termasuk tudingan bahwa  ada motif bisnis di balik isu BPA pada galon guna ulang. Secara tidak langsung, tudingan ini menunjukkan bahwa penguasa pasar AMDK galon guna ulang tak suka ada persaingan bisnis  yang berpotensi bisa menggerogoti bisnisnya.  

Tudingan ini pun  dibantah oleh BPOM. Deputi Bidang Pengawasan Pangan dan Olahan BPOM, Rita Endang tegas membantah tudingan bahwa revisi aturan label pangan dikaitkan dengan kepentingan persaingan usaha. Bantahan ini pun sudah diperkuat dengan pernyataan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menolak adanya kaitan antara aturan label kemasan galon guna ulang dengan persaingan bisnis.

“Ada surat resmi KPPU kepada BPOM bahwa tidak ada unsur persaingan usaha,” kata Rita Endang. “Pengaturan BPA pada kemasan itu untuk kepentingan kesehatan dan keamanan produk yang menjadi kewenangan BPOM.”
Rita Kembali menegaskan ke semua pihak yang menolak regulasi pelabelan galon guna ulang, bahwa sudah menjadi kewajiban BPOM selaku institusi pemerintah untuk melindungi masyarakat. 

“Tugas dan fungsi BPOM adalah menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria keamanan, mutu, label, dan iklan pangan. Galon polikarbonat tersusun dari polimer BPA yang berpotensi menyebabkan migrasi BPA dalam air,”  kata Rita. 

Hasil temuan lapangan BPOM sepanjang periode 2021-2022, ditemukan galon polikarbonat yang terkontaminasi BPA dan melebihi ambang batas yang sudah ditentukan, yaitu 0,6 bagian per juta (PPM) per liter dan kadar BPA dalam air 0,01 PPM.

Dari hasil uji migrasi BPA pada galon polikarbonat, ditemukan  ada  enam daerah yang kandungan BPA-nya sudah melampaui ambang batas 0,6 PPM yakni di Jakarta, Medan, Manado, Bandung, Banda Aceh dan Aceh Tenggara. Temuan ini diperoleh baik di sarana produksi maupun di  sarana distribusi AMDK galon guna ulang. Bahkan, ditemukan pula BPA pada AMDK yang melampaui batas toleransi asupan harian pada bayi di empat kabupaten di Indonesia.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan keamanan pangan adalah hak asasi bagi warga negara dan konsumen. "Tidak ada kompromi untuk itu, karena keamanan pangan adalah hal yang mendasar," Katanya. Ia menjelaskan, terkait keamanan pangan, negara telah mengeluarkan berbagai produk regulasi, termasuk di dalamnya adalah Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen, UU Pangan, dan UU Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah (PP) tentang Label dan Iklan Pangan.

Masyarakat membutuhkan kemasan pangan berbahan baku plastik ramah lingkungan dan memiliki standar keamanan bagi kesehatan yang makin tinggi. "Semakin tinggi standar yang ditentukan, semakin baik bagi perlindungan konsumen," papar dia.

"BPA pada kemasan pangan, berapa pun kadarnya, adalah polutan bagi kesehatan manusia. Semakin rendah kadar BPA, semakin baik bagi konsumen. Konsumen memerlukan standar yang lebih tinggi untuk mewujudkan keamanan pangan yang dikonsumsinya,” tutupnya.