Isu Xinjiang di PBB dan Respon Tiongkok

MUS • Monday, 5 Sep 2022 - 11:59 WIB

Oleh: Imron Rosyadi Hamid, 
Rektor Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Beberapa hari lalu (31/08/2022), Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB merilis sebuah dokumen berjudul Assessment of human rights concerns in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region, People’s Republic of China sebagai bagian dari respon resmi untuk menilai dugaan pelanggaran HAM di Negeri Tirai Bambu tersebut. 

Dokumen setebal 48 halaman ini terdiri dari delapan bagian dan dirinci dalam seratus lima puluh tiga item, di antaranya menyangkut penilaian kerangka hukum dan kebijakan Tiongkok dalam melawan terorisme dan ekstrimisme, pemenjaraan dan bentuk-bentuk perampasan kemerdekaan lainnya, kondisi dan pelayanan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan, dan tentu saja di bagian akhir menyangkut rekomendasi. 

Meskipun komisi tinggi Hak asasi manusia PBB menyebut asesmen ini sudah melalui standar pengujian, tetapi perimbangan data atas fakta yang disampaikan otoritas Tiongkok dan lembaga dunia lain sepertinya akan memunculkan perdebatan panjang, apalagi jika dikaitkan dengan upaya politisasi isu Xinjiang beberapa tahun belakangan oleh media barat. 

Riuh ramai tentang Xinjiang meminjam istilah Michael E. Clarke (2011), seperti ‘provokasi permanen‘ yang kerap diarahkan ke otoritas Tiongkok. Penulis buku Xinjiang and China’s Rise in Central Asia : A History ini menyebutkan bahwa  kebijakan domestik Tiongkok di Xinjiang sudah terjadi sangat lama dan berkait erat dengan masalah hubungan internasional yang lebih luas karena berada dalam wilayah perbatasan yang strategis.

Respon Tiongkok dan Perimbangan Data 

Beberapa saat setelah munculnya rilis Komisi Tinggi HAM PBB tentang  Xinjiang ini, otoritas Tiongkok melalui Juru bicara Kementerian Luar Negeri,  Zhao Lijian langsung memberikan respon penolakan dan menentang politisasi hak asasi manusia. Tiongkok berharap organ HAM lembaga dunia ini membuat keputusan yang tepat, mematuhi tujuan dan prinsip Piagam PBB secara ketat serta melaksanakan pekerjaan dengan prinsip-prinsip objektivitas, ketidakberpihakan, non-selektivitas dan non-politisasi. 

Menurut Zhao, Tiongkok mementingkan promosi yang seimbang dari semua jenis hak asasi manusia, untuk dialog dan kerja sama dengan negara-negara anggota, dan menentang praktik yang salah dalam mempolitisasi hak asasi manusia dengan standar ganda.

Respon Tiongkok bisa dimengerti mengingat dokumen Komisi Tinggi HAM PBB ini seperti ‘menguliti’ secara sepihak semua kebijakan Xi Jinping tanpa memberikan perspektif yang berimbang atas kemajuan-kemajuan pembangunan di Xinjiang. 

Sebagai contoh, dalam isu hak reproduksi, item keseratus tujuh yang dilengkapi dengan gambar diagaram dalam dokumen Komisi HAM PBB itu menyebut angka resmi kelahiran penduduk di Xinjiang dari 2017 hingga 2019 menurun tajam di angka 48,7 persen, dari 15,88 per seribu pada 2017 menjadi 8,14 per seribu pada 2019 dibanding rata-rata tingkat kelahiran seluruh China sebesar 10,48 per seribu penduduk. 

Item ini seolah-olah mengarahkan kesimpulan bahwa ada pelanggaran HAM dalam urusan hak reproduksi di wilayah Xinjiang. 

Dokumen Komisi Tinggi HAM PBB itu tidak menampilkan update data baru yang dirilis otoritas Tiongkok bulan September 2021 tentang tingkat pertumbuhan penduduk di Xinjiang yang lebih tinggi dari rata-rata negara itu selama satu dekade terakhir. Populasi di wilayah tersebut mencapai angka 25,85 juta pada Oktober 2020, naik 18,5 persen dari sensus penduduk negara itu pada 2010 (CGTN, Demographic changes in Xinjiang over the years, 2021). 

Dalam buku putih yang berjudul "Dinamika dan Data Populasi Xinjiang" juga disebutkan bahwa kawasan di sisi utara barat Tiongkok ini telah mengalami peningkatan besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang dikaitkan dengan pertumbuhan penduduknya yang stabil. Produk domestik bruto di Xinjiang meningkat sekitar 160 kali dalam 65 tahun terakhir. 

Pendapatan per kapita tahunan penduduk pedesaan Xinjiang naik dari 119 RMB ($18,4) pada tahun 1978 menjadi 14.056 RMB pada tahun 2020, naik lebih dari 100 kali lipat. Ada lebih dari 2,7 juta orang pedesaan di Xinjiang yang hidup di bawah garis kemiskinan saat ini telah keluar dari kemiskinan, sehingga memberantas kemiskinan ekstrim.

Pelibatan World Bank di Xinjiang

Pada Tahun 2015, Bank Dunia pernah terlibat dalam Proyek Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Kejuruan Xinjiang Tiongkok dengan nilai pinjaman sebesar 50 juta dolar AS, untuk mendukung lima perguruan tinggi kejuruan negeri di wilayah tersebut. World Bank juga pernah mendapatkan tuduhan membantu ‘proyek kamp cuci otak’ seperti yang dituduhkan Ketua Komite Keuangan Senat Amerika Serikat, Chuck Grassley (2019) dengan dikaitkan laporan pelanggaran HAM di Xinjiang yang kemudian dilakukan pendalaman oleh Bank Dunia untuk diinvestigasi. 

Rilis Bank Dunia 11 Nopember 2019 berjudul World Bank Statement on Review of Project in Xinjiang, China menyebutkan bahwa ketika ditemukan tuduhan (pelanggaran HAM) dikaitkan dengan Proyek Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Kejuruan Xinjiang, Bank Dunia pernah menugaskan seorang manajer seniornya melakukan perjalanan ke Xinjiang untuk mengumpulkan informasi secara langsung. 

Tim melakukan peninjauan secara menyeluruh terhadap dokumen proyek, terlibat dalam diskusi dengan staf proyek, dan mengunjungi sekolah-sekolah yang dibiayai langsung oleh proyek, serta sekolah-sekolah mitra mereka yang menjadi sasaran tuduhan. Peninjauan Tim Bank Dunia  ke proyek di Xinjiang tersebut tidak mendukung tuduhan pelanggaran HAM dimaksud.  

Kini persoalan tuduhan pelanggaran HAM di Xinjiang yang disampaikan Komisi Tinggi HAM PBB telah mendapatkan berbagai reaksi berbagai pihak, apalagi di tengah rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok dalam konstelasi geostrategis dunia yang terus menghangat. 

Wallahu a’lam bi as shawab.