Pascasarjana UKI Gelar Nonton Bareng dan Diskusi Film dalam Rangka Pengabdian kepada Masyarakat

MUS • Friday, 2 Sep 2022 - 14:11 WIB

Jakarta - Prodi Magister Hukum UKI dan Prodi Doktor Hukum UKI Program Pascasarjana UKI bekerja sama YKI, Lam Horas Film dan Senior GMKI menyelenggarakan Pengabdian kepada Masyarakat dengan tema “HAM Perempuan dan Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan.” 

Kegiatan meliputi nonton bareng film “Invisible Hopes” pemenang FFI 2021 untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik, di Bioskop XXI Metropole dan dilanjutkan dengan diskusi di aula Pasca Sarjana UKI, Jakarta Pusat pada Kamis (1/09/2022). 

Film "Invisible Hopes” besutan Lamtiar Simorangkir mengangkat kehidupan tragis tahanan perempuan hamil dan anak-anak lahir di penjara ke layar lebar. Setting berlangsung di empat penjara perempuan, salah satunya Rutan Perempuan Pondok Bambu, Jakarta. 

Kisah perempuan muda tomboy bernama Midun terjerat kasus narkoba, dijatuhi vonis 6 tahun dan denda satu miliar rupiah, ditinggalkan suami dan tragisnya melahirkan anak di sel hingga tantangan membesarkan anak, sangat  menarik dikisahkan di dalam film ini. 

Begitu juga kisah perempuan lain, seperti IFI terbelit kemiskinan tak ada biaya untuk operasi caesar.

Sutradara sekaligus produser, Lamtiar  Simorangkir mengungkapkan bahwa Lam Horas Film adalah sebuah komunitas dan perkumpulan yang mengangkat tentang persoalan masyarakat ke dalam film. 

“Sebagai filmmaker, kami bertujuan menolong Ibu dan anak lahir dibesarkan di penjara,” tuturnya sebelum pemutaran film.

Membuat film ini, kata perempuan asal Pekanbaru ini, bukan untuk mencari kesalahan pihak tertentu, namun memperbaiki kondisi terutama anak-anak di dalam penjara.  

“Saat riset awal, di penjara Semarang, kami menemui seorang ibu hamil dan terkesan LP (negara) tidak siap menerimanya,” beber aktivis perempuan dan ketika kuliah aktif di GMKI Cabang Pekanbaru ini.

Selama berlangsungnya produksi film ini ada 40 ibu hamil dengan 17 kelahiran anak di penjara. Diakuinya, ada ruang gerak terbatas sebab terdapat perjanjian dengan Kalapas dan Ibu Rutan bahwa filmnya hanya fokus untuk ibu hamil dan anak di penjara.

“Lewat film kami merasa terpanggil menolong narapidana hamil dan anak-anak dilahirkan di penjara. Ingin ada perubahan di LP-LP Indonesia,” tutur perempuan yang berharap lewat film bisa membawa perubahan di Indonesia. 

Diskusi Film 
Direktur Pasca Sarjana Prof. Bernadetha Nadeak, dalam sambutannya sebagai pengantar diskusi mengatakan baseline untuk UKI sendiri kegiatan nonton dan berdiskusi film ini sebagai pengabdian terhadap masyarakat, yang menjadi salah satu perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

“Terima kasih untuk program magister hukum UKI yang sudah mengadakan acara ini. Biar hal seperti ini diitindaklanjuti ke depan dengan melibatkan program magister lainnya. Tentu dengan arahan Rektor dan Wakil Rektor Bidang Akademik UKI. Ini bisa  ladang kajian buat dosen,” tutur Prof. Bernadetha. 

Tampil sebagai pembahas dalam Diskusi yang berlangsung di aula Pasca Sarjana Kampus UKI Diponegoro antara lain Lamtiar Simorangkir, Aartje Tehupeiory, Pdt Sylviana Apituly dan Bernard Nainggolan.

Menurut pandangan Dr. Aartje Tehupeiory, setelah menonton film ada tiga kebutuhan dasar perempuan yaitu kebutuhan fisik, psikis dan kebutuhan rohani. 

Film ini menceritakan kisah hidup perempuan bagaimana melahirkan anak di penjara dengan segala penderitaannya.  

“Kita harapkan Pak Jokowi bisa fokus untuk mengurus rakyat termasuk mendesak menambah anggaran lapas perempuan. Mohon memisahkan ibu hamil dan anak di dalam rutan,” tukas dosen Program Pascasarjana UKI ini. 

Ia menyinggung regulasi yang ada sudah diatur dalam UU No 4 1979 tentang  Kesejahteraan perempuan. Kemudian  UU No 17 tahun 2016 tentang Perubahan Perlindungan Anak dan  UU No 32 tentang Tata Cara Warga Binaan masyarakat.

Bahkan, secara internasional ada Mandela’s Role, yang mengatur hak akomodasi perempuan setelah melahirkan. Hak perempuan adalah hak azasi, sesuai UU 39 memiliki hak  memperoleh kesejahteraan, hak pemeliharaan dan hak untuk dibimbing, baik dalam kandungan dan saat dilahirkan.

“Mari yuk sama-sama menginisiasi gerakan untuk perlindungan perempuan dan anak, ini harus terus disosialisasikan. Jangan sampai kehilangan pengasuhan dan hak hidup,” ajaknya.

Sementara Pdt. Sylviana Apituly  berpendapat tidak salah kalau  FFI  memberikan penghargaan sebagai film dokumenter panjang terbaik. Film ini berhasil menegaskan ke publik masalah perempuan dan anak adalah puncak gunung es yang terjadi di Lapas. 

“Saling mengunci karena ada faktor gender, kelas sosial dan lainnya. Dalam analisis kelompok pemerhati masalah perempuan di tahanan adalah sebuah mata rantai terkait tiga hal yaitu kemiskinan, ketergantungan dan kekerasan,” paparnya.

Dari segi pendalaman masalah perempuan ada beberapa masalah tadi ditemukan dalam film ini. Umumnya perempuan ditinggalkan suaminya dan keluarga tidak mau mengurus anak. Karena itu sangat rentan anak dilahirkan di rutan berpotensi diabaikan baik lingkungan dan keluarga.

Menurutnya, secara teologis penggambaran hidup anak di penjara bukan segambar dengan Allah, anak lahir di penjara terlihat berbeda.
Ia juga menyinggung Pasal 1 Deklarasi HAM yang menjamin setidaknya 30 hak anak seperti hak identitas, perlindungan khusus dan lainnya. 

Gambaran kisah Ibu Midun, IFI dan perempuan lainnya merupakan cerminan perempuan yang mendekam di penjara kita. 

Ketua umum  Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) berpandangan bahwa  film ini tidak biasa-biasa saja. Menonton film ini sama seperti menonton diri sendiri. Terutama kaitannya dengan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak.  

“Saya kira kita bukan lagi bicara law of book tapi law in action. Secara teoritis bagimana UKI  bisa bicara gerakan hukum terkait bias gender  yang  kita konkritkan hari ini,” tanggapnya.

YKI bergerak dalam gerakan politik, bahwa hasil kerja Lamtiar Simorangkir tidak cukup hanya tontonan tetapi harus berbuat sesuatu terkait ibu hamil dan anak di penjara. Maka gerakan-gerakan  politik akan  kita lakukan di YKI.

“Hukum tidak hadir di ruang hampa, membicarakan ibu dan anak di penjara, itu bagian perjuangan. Lewat film ini kita seharusnya menonton diri sendiri,” pungkasnya.