Konflik Taiwan-China, Indonesia Miliki Kemampuan Mitigasi dan Kelola Situasi Kawasan

AKM • Thursday, 1 Sep 2022 - 10:57 WIB

Jakarta - Pemerintah harus terus memperkuat dan membangun kekuatan ekonomi, politik serta pertahanannya. Hal itu dilakukan guna meningkatkan peran penting Indonesia dalam ikut serta menjaga perdamaian dunia, terutama geopolitik kawasan.

"Saya kira konflik yang terjadi antara Taiwan dan China yang mulai memanas akibat provokasi Amerika Serikat (AS) ini, bisa mempertegas posisi Indonesia. Bahwa kita harus menjadi satu kekuataan yang mempunyai peran penting di kawasan dan terlibat aktif dalam menjaga perdamaian ini," kata Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik dalam diskusi bertema 'Ancaman Perang di Taiwan, Mungkinkan Dihindari?, Jakarta, Rabu (31/8).

Menurut Mahfuz, Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola posisi dan situasi kawasan, termasuk memitigasi ancaman dan resiko meledaknya perang antara Taiwan-China yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

"Indonesia sebagai negara yang berusia cukup panjang, punya kemampuan memitigasi tapi juga punya kemampuan untuk mengelola posisi dan situasi kawasan menjadi damai," katanya. 

Ketua Komisi I DPR Periode 2005-2010 ini menilai potensi terjadinya perang antara Taiwan-China kecil kemungkinan terjadi. Namun, dia mengingatkan situasi ketidakpastian global saat ini, bisa memicu terjadinya perang antara Taiwan-China, seperti perang Rusia-Ukraina.

"Konflik di Taiwan ini, mempunyai kemiripan yang terjadi di Ukraina diawali dengan ketidakpastian, tiba-tiba meledak. Ini penting bagi kita untuk belajar, karena dampaknya tidak sederhana dan berlangsung sampai sekarang," ujarnya.

Mahfuz berharap Taiwan tidak berperang dengan China, meskipun terus diprovokasi AS. Selain itu, kebijakan unifikasi China saat ini dalam menyatukan wilayahnya seperti Taiwan lebih mengedepankan jalan damai, ketimbang perang.

"Persiapan China menginvasi Taiwan sebagai respon terhadap provokasi Amerika itu, agar kita tidak gagap jika benar terjadi perang di dekat wilayah kita, makanya kita perlu membangun arsitektur pertahanan yang kuat di kawasan," katanya.

Sekjen Partai Gelora ini menambahkan, pemerintah juga perlu meningkatkan fungsi lembaga intelejen yang telah mendapatkan peningkatan porsi penganggaran. Yakni dari fungsi intelejen keamanan dalam negeri, ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga intelejen luar negeri dan intelejen ekonominya.

"Penguatan lembaga intelejen ini, bagian dari reformasi sektor keamanan, sehingga institusi intelejen menjadi sumber informasi penting dalam pengambilan kebijakan, termasuk soal geopolitik kawasan," katanya.

Sementara itu, Pengamat Militer dan Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan, Indonesia harus menyadari bahwa perang selalu muncul dalam kurun waktu tertentu.

"Sejak dunia ini berputar 4.000 tahun lalu, selama 800 tahun dihabiskan untuk berperang. Kondisi ini sudah disadari oleh Bung Karno (Presiden RI pertama Soekarno) saat itu, termasuk terjadinya perang di kawasan," kata Connie.

Namun, Connie berharap antara Taiwan-China tidak terjadi perang terbuka seperti Rusia dan Ukraina. Pemerintah Indonesia diminta tidak menanggapinya dengan cara normatif, tetapi melalui langkah-langkah strategis.

"Kasus Taiwan ini sangat danger (berbahaya), karena melibatkan perputaran ekonomi kawasan dan dunia yang cukup besar. Belum lagi wilayahnya sangat strategis dalam mempengaruhi perekonomian global," kata Connie.

Menurutnya, kondisi perekonomian negara yang terpengaruh konflik Taiwan-China akan berdampak terhadap geopolitik kawasan juga. 

"Jika terjadi invasi, maka akan terjadi trade destruction. Bayangkan pengaruhnya 20-35% dari perputaran ekonomi dunia," paparnya. 

Dalam konflik Taiwan-China ini, kata Connie, posisi Indonesia harus berada di tengah, tidak boleh berpihak kepada Taiwan atau China dalam rangka membangun peningkatan kapasitas pertahanan negara.

"Kenapa harus anti perang, karena dampak ekonomi buruk, inflasi dan berdampak terhadap geopolitik. Kita harus bangun pertahanan yang kuat di Asia," katanya.

Sedangkan Pengamat Intelijen Wawan Hari Purwanto, mengingatkan konflik Taiwan harus dikalkulasi dengan baik. Seperti efek di Rusia-Ukraina, memberikan efek harga pangan melambung.

"Intinya, kita ingin ketegangan China dan Taiwan ini tidak meletus, karena akan semakin runyam persoalan dunia," kata Wawan.

Juru Bicara Badan Intelejen Nasional (BIN) ini tidak yakin akan terjadi perang antara Taiwan-China. Sebab, China selama ini lebih menyukai perang dagang ketimbang perang senjata.

"Bagi China perang senjata itu sangat merusak sendiri-sendi perekonomian. China lebih menyukai petang dagang, kalau ada ketegangan itu bagian dari perang proxy, perang dagangnya China," katanya. 

"Perang itu bentuk diplomasi yang gagal. Padahal kalau perang terjadi dampaknya meluas dan panjang. Kalau menang jadi arang, dan kalahpun akan jadi abu," lanjutnya.

Wawan menegaskan, Indonesia memiliki kepentingan untuk mencegah terjadinya perang antara Taiwan-China, karena pemerintah bisa mengambil manfaat dari investasi Taiwan di Indonesia.

"Kita bisa mengambil manfaat dari investasi Taiwan di Indonesia yang targetnya 3 sampai 5 besar. Taiwan beda dengan China, SDM yang dibawa pekerja-pekerja spesifik seperti level manajer dan supervisor. Karena itu, kita berkepentingan ada jalan damai antara Taiwan-China ini," pungkasnya.