Hari Anak Nasional, UNICEF: 56 Persen Insiden Eksploitasi Seksual Online pada Anak Tidak Dilaporkan

FAZ • Tuesday, 26 Jul 2022 - 07:58 WIB

Jakarta - UNICEF bersama Interpol, dan ECPAT, yang didanai oleh Global Partnership to End Violence against Children menyajikan penelitian terbaru mereka soal ekspolitasi seksual pada anak dalam perayaan Hari Anak Nasional. Survei itu menyebutkan bahwa dari antara 17 dan 56 persen anak Indonesia yang mengalami berbagai bentuk eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah ataupun pengalaman tidak diinginkan lainnya di dunia maya tidak melaporkan kejadian tersebut.

“Internet memberikan anak dan remaja kesempatan tidak terbatas untuk mengakses informasi, budaya, komunikasi, dan hiburan yang bisa memantik kreativitas dan memperluas wawasan mereka,” kata Pelaksana Tugas Perwakilan UNICEF Indonesia Robert Gass dalam keterangan pers pada 23 Juli 2022.

Walau begitu, Robert Gass mengatakan di balik peluang internet itu, terdapat risiko yang serius. "Kita semua—orang tua, masyarakat, guru, platform digital, dan pemerintah--harus memahami ancaman eksploitasi dan perlakuan yang salah di dunia maya dan memprioritaskan keselamatan anak di internet,” kata Robert Gass.

Laporan berjudul Disrupting Harm in Indonesia, ini terbit pada 23 Juli. Laporan ini menyajikan bukti-bukti tentang eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah terhadap anak di dunia maya. Data didapatkan dari survei rumah tangga terhadap 995 anak dan pengasuh, survei terhadap tenaga layanan di lapangan, dan wawancara dengan pihak berwenang dan penyedia layanan dari kalangan pemerintah. Penelitian berlangsung antara bulan November 2020 dan Februari 2021 dengan fokus pada anak usia 12-17 tahun.

Dalam laporan itu juga ditemukan bahwa anak pada kategori usia tersebut adalah pengguna internet yang sangat aktif dengan 95 persen di antaranya mengakses internet minimal dua kali sehari. Dua persennya, atau sekitar 500 ribu anak di Indonesia, menyatakan pernah menjadi korban eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya dalam setahun terakhir. Menurut laporan, angka ini sangat mungkin bukan angka yang sebenarnya mengingat topik ini amat sensitif dan traumatis bagi anak. Penelitian ini hanya mencakup laporan soal eksploitasi anak dalam setahun terakhir. UNICEF meyakini anak yang pernah mengalami kejadian serupa di sepanjang hidupnya adalah jauh lebih tinggi.

Jenis kejadian yang disebutkan anak di dalam survei antara lain adalah pemerasan untuk melibatkan anak dalam tindakan seksual, pengambilan gambar yang bersifat seksual dan penyebarannya tanpa seizin anak, dan pemaksaan anak untuk melakukan tindakan seksual dengan iming-iming uang ataupun hadiah.

Eksploitasi dan perlakuan yang salah terhadap anak utamanya terjadi di platform media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, dan Facebook Messenger. Namun, hingga 56 persen anak tidak pernah menceritakan insiden yang dialami kepada siapa pun. Anak yang melapor lebih memilih bercerita kepada teman atau saudara dibandingkan orang tua atau orang dewasa lain. Dalam survei, hanya terdapat satu anak yang melaporkan kejadian yang dialami kepada polisi, yaitu insiden mendapatkan konten seksual yang tidak diinginkan, dan satu anak lain menghubungi nomor kontak layanan setelah diimingi-imingi uang atau hadiah jika bersedia memberikan konten seksual.

Menurut korban, rendahnya pelaporan disebabkan oleh ketidaktahuan mengenai siapa yang dapat dihubungi atau diajak bicara, rasa bersalah, kekhawatiran tidak akan dimengerti, kekhawatiran akan mendapat masalah, rasa malu, dan kekhawatiran akan menimbulkan masalah bagi keluarga.

Disrupting Harm menyebutkan sejumlah rekomendasi untuk meningkatkan koordinasi dan mempertahankan upaya berbagai pemangku kepentingan dalam menguatkan perlindungan terhadap anak dari risiko eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya. Laporan ini juga menggarisbawahi pentingnya mengedukasi anak dan masyarakat tentang interaksi aman di internet serta pentingnya peran orang tua dan pengasuh dalam hal ini. Lebih jauh, laporan juga menyerukan aksi yang lebih tegas untuk memidanakan semua tindak eksploitasi seksual dan perlakuan yang salah di dunia maya melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Indonesia.

“Pencegahan eksploitasi dan perlakuan yang salah terhadap anak di dunia maya sejalan dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru saja disahkan dan yang menyerukan agar semua anggota masyarakat mengambil langkah segera dan nyata untuk mencegah dan merespons kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di dunia maya,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Berdasarkan temuan-temuan kunci laporan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan UNICEF meluncurkan program Pencegahan Eksploitasi Seksual dan Perlakuan yang Salah terhadap Anak di Dunia Maya (OCSEA). Kemitraan yang akan berjalan hingga tiga tahun ke depan ini hendak menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak di dunia maya. OCSEA juga meliputi kegiatan sosialisasi dan pemberdayaan anak dan keluarga, pengumpulan bukti sebagai dasar kebijakan, advokasi dan pengembangan program, dan penguatan kebijakan, program, dan layanan perlindungan anak.