Kominfo Cabut Label Disinformasi Terkait Informasi Bahaya BPA YLKI: Langkah Tepat

ANP • Sunday, 24 Jul 2022 - 22:29 WIB

Jakarta – Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tubagus Haryo, menyatakan YLKI menyambut baik pencabutan label “Disinformasi” terhadap informasi bahaya BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon isi ulang yang pernah ada di situs web Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). “Saya kira memang Kominfo tepat  mencabut itu,” kata Tubagus Haryo melalui pernyataan tertulisnya di Jakarta, Kamis 21 Juli 2022.

Sejak 3 Januari 2021, Kominfo melabeli berita tentang bahaya zat kimia BPA pada AMDK galon berbahan plastik polikarbonat (galon isi ulang) sebagai “Disinformasi”. Tapi, label itu kini telah secara remis dicabut oleh Kominfo dari situs web itu karena adanya permohonan penurunan konten dari Direktur Siber Obat dan Makanan kepada Direktur Pengendalian Informatika pada 8 Juni 2022.

Tubagus berharap ke depannya Kominfo melakukan check and recheck terlebih dahulu kepada lembaga yang berkompeten di bidangnya sebelum memberi label tertentu pada suatu informasi. “Jangan sampai Kominfo hanya menerima pengaduan,” katanya. “Karena bisa saja ada bias atau conflict of interest dalam pengaduan itu.”

Lembaga berkompeten yang dimaksud Tubagus adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM telah merilis pernyataan yang mengungkap kekhawatirannya terhadap tingkat paparan BPA pada AMDK galon isi ulang. BPOM bahkan telah menyusun rancangan peraturan pelabelan BPA pada AMDK galon isi ulang.

Rancangan peraturan tersebut disusun BPOM setelah melakukan survei atau pengawasan terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran, selama 2021-2022. Hasil pengawasan lapangan BPOM itu menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.

“Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberi informasi yang benar dan jujur, BPOM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan,” demikian kata Kepala BPOM, Penny K. Lukito, seperti tertulis dalam rilis resmi di situs web BPOM.

Selain mengawasi AMDK galon di lapangan, BPOM mempertimbangkan tren pengaturan BPA di luar negeri. Pada 2018, misalnya, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj. Beberapa negara, seperti Prancis, Brazil, serta negara bagian Vermont dan Distrik Columbia di Amerika Serikat bahkan telah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk AMDK. Negara bagian California di Amerika Serikat mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA pada kemasan produk pangan olahan.

Di Indonesia, BPOM menempuh cara yang lebih moderat. Menurut Penny, rancangan peraturan pelabelan BPA hanya mengatur kewajiban pencantuman tulisan cara penyimpanan, seperti “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam” serta pencantuman label “Berpotensi mengandung BPA” pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik keras (polikarbonat).

Selain itu, peraturan itu mengecualikan produk-produk AMDK yang, dari hasil analisisnya, mampu membuktikan bahwa migrasi BPA-nya berada di bawah 0,01 bpj. Dengan demikian, menurut Penny, rancangan peraturan pelabelan BPA sama sekali tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat, sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

BPA atau Bisfenol A merupakan zat kimia yang menjadi bahan baku (prekursor) plastik keras (polikarbonat). Pada kondisi tertentu, BPA dapat bermigrasi dari kemasan plastik keras ke dalam pangan yang dikemasnya. 

Banyak penelitian ilmiah menunjukkan BPA berdampak terhadap kesehatan melalui mekanisme gangguan hormon, khususnya hormon estrogen. Alhasil, BPA berkorelasi dengan gangguan sistem reproduksi, baik pada pria maupun wanita, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, perkembangan kesehatan mental, autisme, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

BPOM, Penny bilang, semata-mata bertujuan melindungi kesehatan masyarakat dari potensi paparan zat berbahaya dan kepentingan pelaku usaha dari tuntutan hukum di kemudian hari. Jika ditetapkan, regulasi ini juga hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai izin edar, sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang. 

Oleh karena itu, menurut Tubagus, apa yang dilakukan Kominfo dengan mencabut label “Disinformasi” adalah hal positif. “Itu bagian dari koreksi,” katanya. “Saya kira apa yang disampaikan oleh BPOM semata-mata untuk melindungi konsumsen dan sebetulnya juga melindungi  pelaku usaha dari  tuntutan (hukum) di kemudian hari.”

Dukungan kepada BPOM juga diutarakan epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mempertanyakan kalangan industri yang merespons berlebihan rencana pelabelan risiko BPA pada AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) atau galon guna ulang Badan POM. 

Ia mengatakan, melalui regulasi tersebut BPOM justru sedang mengedukasi masyarakat terkait dampak BPA terhadap kesehatan. 

"Kenapa industri minuman kemasan enggak mau regulasi label tersebut. Alasannya apa? Kan yang sedang dilakukan BPOM agar ada label setiap wadah plastik seperti galon tulisan apakah dibuat dengan menggunakan BPA atau tidak," katanya. Menurutnya, kewajiban labelisasi tersebut perlu lebih cepat dilaksanakan.Pasalnya, kekhawatiran terhadap dampak BPA tidak hanya ada di Indonesia namun juga sudah ada di negara-negara maju. 
"Ini efeknya kan jangka panjang, kalau tidak berdampak kenapa negara maju sudah menggantinya. Langsung saja wajib labelisasi, kok takut pada industri," ujar dokter Pandu. 
Sejauh ini, ia menilai apa yang dilakukan BPOM konsisten untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur.
 
Namun hal itu harus terganjal dengan adanya "lobi-lobi industri" maupun intervensi pihak luar. 
"Usulan regulasi itu ada dan dikembalikan oleh Sekab karena lobi industri. Jadi ada intervensi dari industri. BPOM tetap konsisten mengajukan lagi agar jadi regulasi," pungkasnya. (ANP)