JAKARTA - Munculnya penentangan terhadap regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan(BPOM) yang akan menerapkan aturan pelabelan risiko senyawa kimia Bisphenol-A (BPA) pada galon isi ulang berbahan plastik keras polikarbonat, mengundang banyak pertanyaan.
Penolakan terutama datang dari sejumlah kalangan, baik di kalangan pejabat pemerintah terkait, akademisi, asosiasi hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang cenderung menyudutkan BPOM. Di tengah polemik antara pilihan galon air dalam wadah polikarbonat atau galon air dalam wadah jenis Polyethylene Terephthalate (PET) yang dinilai lebih aman. “Suara penolakan itu sepertinya jadi sejalan dengan kepentingan produsen galon air polikarbonat pemilik market leader yang justru menjadi salah satu penyumbang sampah AMDK terbesar di Indonesia,” tegas Yusra Abdi, pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI) di Jakarta.
Publik juga dibuat bingung oleh sebagian akademisi, dengan informasi yang beredar terkait penolakan terhadap rencana regulasi BPOM untuk melindungi keamanan konsumen. Yusra mengkritik, sesat informasi disebarkan terhadap rencana regulasi BPOM itu menjadi salah kaprah, dan hanya membebek penolakan dari sebagian industri. Menurutnya, sejak semula lobi industri sudah melontarkan banyak alasan untuk menghambat rencana regulasi BPOM. "Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko polikarbonat bakal menambah jumlah sampah plastik, karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon isi ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas polikarbonat," katanya.
Bila mau jujur, kata Yusra, semua air mineral non-galon yang beredar di pasar —kecuali kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET), plastik lunak yang bebas polikarbonat.
"Penjualan terbesar produsen air kemasan terbesar di Indonesia, salah satunya bersumber dari penjualan kemasan single pack size yang semuanya berbahan PET alias sekali pakai," jelas Yusra. "Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, mengapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?”
Alih-alih fokus pada penanggulangan sampah plastik masif yang menyebabkan nama Indonesia terpuruk sebagai salah satu polutan sampah plastik terbesar di dunia, penolakan para penentang regulasi BPOM ini justru hanya mengerucut pada plastik galon isi ulang. Sampah plastik dalam kemasan beragam ukuran, yang jumlahnya sangat masif, malah diabaikan. Mereka juga menuding regulasi BPOM bisa merugikan dunia usaha dan hanya menguntungkan salah satu produsen, dalam hal ini produsen air mineral yang menggunakan galon plastik berbahan PET yang dinilai relatif lebih aman.
Opini cenderung negatif yang muncul belakangan ini terlihat menjadi seperti bantu sandungan dalam memuluskan rencana regulasi BPOM. Tampak bagaimana para penentang regulasi BPOM ini jadinya seolah mengedepankan kepentingan pengusaha besar, ketimbang kepentingan kesehatan jutaan rakyat Indonesia sebagai konsumen air mineral. Polikarbonat yang lazim digunakan antara lain sebagai komponen bahan bangunan dan atap garasi, tentu tak selayaknya tetap digunakan sebagai wadah air minum untuk konsumsi manusia.
Lebih jauh, Yusra mengatakan, BPOM justru tidak melarang penggunaan galon isi ulang dari plastik polikarbonat, atau sebaliknya mendorong publik mengonsumsi galon dari plastik lunak yang bebas polikarbonat. Dikatakannya, BPOM sebatas ingin memberlakukan kebijakan pencantuman label peringatan atas risiko polikarbonat yang mengandung bahan kimia berbahaya, agar konsumen air galon mendapat informasi menyeluruh, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. (ANP)