GUSDURian Peduli Diskusikan Amblesan Tanah di Sidoarjo Akibat Produksi Migas

MUS • Monday, 4 Jul 2022 - 15:21 WIB

Sidoarjo - Bencana semburan lumpur di Sidoarjo semenjak 29 Mei 2006 telah berlangsung selama 16 Tahun dan dampaknya masih terjadi hingga sekarang ini. Secara politis, semburan lumpur Sidoarjo dikategorikan sebagai bencana alam yang dipicu oleh gempa bumi Yogyakarta 2006. Namun perdebatan atas penyebab semburan lumpur Sidoarjo masih berlangsung hingga saat ini, pasalnya semburan lumpur berada pada lokasi pengeboran migas PT Lapindo Brantas.

Dalam perkembangannya, upaya produksi gas di Sidoarjo berlangsung massif dan ekspansif ditandai dengan upaya pemboran lokasi baru, misalnya produksi migas lapangan Wunut dan Tanggulangin yang kini diduga menyebabkan penurunan tanah di sekitarnya. 

GUSDURian Peduli menginisiasi diskusi terbuka bersama akademisi dan pemangku kepentingan ihwal peristiwa amblesan tanah di Kabupaten Sidoarjo. GUSDURian Peduli berkolaborasi dengan beberapa peneliti dari UGM, ITS, UPN “Veteran” Yogyakarta, UNAIR, pemangku kebijakan seperti BPBD Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET).

Keterlibatan banyak pihak ini sebagai salah satu upaya untuk menjawab tantangan pengurangan risiko bencana penurunan tanah yang disinyalir disebabkan oleh aktivitas produksi gas bumi. 

Diskusi yang dilaksanakan pada 2 Juli 2022 dan dibuka oleh A’ak Abdullah Al Kudus selaku Ketua GUSDURian Peduli berlangsung sangat menarik diawali dengan pembicara kunci dari Pemprov Jawa Timur yang diwakili oleh Kepala Dinas PRKP dan Cipta Karya serta Badan Geologi, dengan pembahasan mengenai dampak LUSI dan proses terjadinya penurunan tanah.

Sesi diskusi panel diisi dengan paparan hasil penelitian dari Indra Arifianto (Dosen Teknik Geologi UGM), Noorlaila Hayati (Dosen Teknik Geodesi ITS), dan Adjie Pamungkas (Puslit Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS) mengenai identifikasi dan analisis penurunan tanah dan kajian kerugian pasca bencana banjir di Sidoarjo. 

Penelitian Indra Arifianto menunjukkan bahwa munculnya lumpur gunungapi di Sidoarjo dengan volume 100 juta liter/hari pada area eksploarasi gas bumi menyebabkan penurunan tanah dengan laju 0,5 – 14,5 m/tahun.

Sedangkan penurunan tanah juga terjadi di Wunut dan Tanggulangin mulai 2019 yang seiring dengan peningkatan kapasitas produksi 4 lapangan gas di kedua daerah tersebut. Penurunan tanah juga menyebabkan gas leakage dan banjir di wilayah Porong akibat aktivitas produksi lapangan gas bumi. 

Sedangkan penelitian Noorlaila Hayati di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri Kecamatan Tanggulangin pada 2018-2021 menunjukkan terjadinya penurunan tanah hungga 60 cm, yang menyebabkan kedua desa tersebut kini berada di wilayah cekungan dan menyebabkan banjir 
genangan hingga berbulan-bulan.

Adjie Pamungkas melengkapi dengan menyajikan data nilai kerusakan dan kerugian banjir akibat penurunan tanah di kedua desa tersebut dari semua aspek penghidupan masyarakat yang mencapai nilai Rp. 99,4 Miliar, dan rata-rata Rp. 130 juta per-KK. 

Andang Bachtiar menunjukkan data bahwa penerimaan daerah dari bagi hasil produksi migas di Kabupaten Sidoarjo dari tahun 2016 – 2021 berturut-turut Rp 4,3 miliar, Rp. 4,1 miliar, Rp. 5,2 miliar, Rp. 15,2 miliar, Rp. 2,2 miliar, dan 22,1 miliar.

Upaya peningkatan kapasitas produksi di 4 lapangan Wunut dan Tanggulangin seiring dengan peningkatan penghasilan daerah dari bagi hasil produksi migas di Sidoarjo, namun juga menunjukkan hal yang linier bahwa semenjak aktivitas tersebut telah terjadi penurunan tanah dengan laju penurunan yang eksponensial hingga hari ini.

Andang menyatakan bahwa penurunan tanah yang berimbas banjir jika memang diakibatkan oleh aktivitas produksi migas, dan peristiwa tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp. 99,4 miliar maka sangat tidak sebanding dengan penghasilan daerah dari bagi hasil produksi migas di Sidoarjo yang jauh lebih 
kecil setiap tahunnya.

Sekjen ADPMET ini mengusulkan untuk pelengkapan data menggunakan data produksi migas dari SKK Migas dan Ditjen Migas untuk menguatkan data yang ada. Sendirinya juga mengingatkan akademisi untuk tidak bersembunyi pada eufemisme, dan tidak takut akan efek politis dari permasalahan ini. 

Eko Teguh Paripurno mendorong upaya moratorium untuk menjawab apakah keuntungan produksi migas cukup untuk mengganti dampak kerugian akibat aktivitasnya.

Dosen UPN “Veteran” Yogyakarta ini menyatakan bahwa kehadiran perusahaan produksi migas bukan sesuatu yang tiba-tiba, namun sebuah imbas dari kebijakan politik pembangunan pada setiap level pemerintahan, dan buruknya tidak pernah dilakukan upaya kontingensi terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan, jadi terkesan seolah-olah risiko tidak akan ada.

Menurutnya, selain untuk menyelesaikan masalah di Sidoarjo, kasus ini juga menjadi contoh untuk dijadikan cara berfikir di tempat lain mengenai risiko pembangunan dan risiko ekologis, bukan hanya di migas namun semua pertambangan.

Kang ET - panggilan akrabnya - yang merupakan Ketua Dewan Pembina GUSDURian Peduli juga mengingatkan akan ketakutan hilangnya keberpihakan atas keselamatan warga sebagaimana dimandatkan oleh Undang-Undang, Jangan sampai warga disekitar proyek menjadi bemper pembayar risiko atas keuntungan perusahaan. 

Akhir diskusi yang dilakukan secara daring ini diakhiri dengan mendorong semua pihak untuk melakukan moratorium, melibatkan SKK Migas dan Ditjen Migas, serta mendorong Pemprov Jawa Timur untuk menindaklanjuti hasil diskusi ini dengan upaya-upaya kebijakan atau komunikasi vertikal ke pemerintah pusat untuk penyelesaian permasalahan ini bukan hanya saat darurat seperti sekarang, namun juga meliputi mitigasi hingga pencegahan. 

Di penghujung diskusi, A'ak Abdullah Al-Kudus mengingatkan kepada Gubernur Jawa Timur sebagai sesama santri Gus Dur agar memegang teguh prinsip "Tashorruf al-Imam 'ala ar-Ro'iyah manuthun bi al-Maslahah" (Kebijakan Pemimpin atas rakyat harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan). Karena itu yang selalu diajarkan oleh Gus Dur kepada santrinya. Dan Gus Dur selalu berpesan bahwa "yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," imbuh Gus Aak.