Inilah Final Report PYC dalam International Energy Conference 2021

ANP • Friday, 17 Jun 2022 - 16:47 WIB

Jakarta – Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) mengadakan acara Presentasi Final Report PYC International Energy Conference 2021 bertajuk “The Enhancement of Energy Security for a Sustainable Future” bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-6 PYC. 

Acara ini diselenggarakan secara daring dan dibuka oleh Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center, Filda C. Yusgiantoro.  Acara ini dihadiri oleh Founder Purnomo Yusgiantoro Center, Prof. Purnomo Yusgiantoro, Septia Buntara Supendi, Manajer Departemen Renewable Energy and Energy Efficiency ASEAN Centre for Energy,  Widhyawan Prawiraatmadja  pengajar di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung, Anissa Suharsono, Energy Policy Associate dari International Institute for Sustainable Development. 

Dalam sambutannya Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center, Filda C. Yusgiantoro  menjelaskan bahwa tujuan utama dari acara hari ini adalah peluncuran laporan dari International Energy Conference (IEC) yang telah diselenggarakan di bulan Oktober 2021. Laporan IEC telah diulas sebelumnya oleh Dr.Ir. Widhyawan Prawiraatmadja (ITB), Dr. Pri Agung Rakhmanto (Reforminer Institute), Anissa Suharsono, B.Sc, M.Sc (International Institute for Sustainable Development), Luky A. Yusgiantoro, B.Sc, M.Sc, Ph.D. (PYC), Inka B. Yusgiantoro, B.S.E, M.Sc, M.S.E, M.A, Ph.D. (PYC), dan Filda C. Yusgiantoro, S.T, M.B.M, M.B.A, Ph.D (PYC).

“Saya berharap agar hasil Laporan International Energy Conference 2021 dapat menambah wawasan semua stakeholder terkait isu-isu energi di masa mendatang. Dalam usianya yang ke-6 tahun ini, PYC akan selalu berkomitmen untuk memberikan kontribusi dan waktu untuk bangsa dan negara sebagai organisasi nirlaba. Keberhasilan ini tentunya tidak terlepas dari kerja sama seluruh pihak terkait yang membantu perkembangan dan kemajuan PYC, terutama untuk tim internal PYC,” tegasnya.

Septia Buntara Supendi menyampaikan dalam paparannya bahwa ketahanan energi dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok utama, yaitu Resource Security dan Power Security. “Isu-isu ini perlu ditangani secara bersama dan kolektif dari beberapa stakeholder,” ujarnya.
Menurutnya, kunci untuk meningkatkan ketahanan energi adalah memperkuat kolaborasi antar negara anggota ASEAN dan memperkaya wawasan mengenai EBT melalui riset dan pengembangan. Kedua strategi tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemampuan Indonesia, sebagai negara dengan pengaruh yang sangat besar terhadap bauran energi di Asia Tenggara, untuk melibatkan lebih banyak sumber energi terbarukan pada bauran energi.

Presentasi Laporan International Energy Conference 2021 disampaikan oleh I Dewa Made Raditya Margenta, peneliti dari PYC. Dalam paparannya, Dewa memaparkan tentang pentingnya peranan Energi Fosil, Ketenagalistrikan, dan Pengembangan EBT dalam transisi energi, mewujudkan skenario Net Zero Emission, dan memperkuat ketahanan energi nasional. Pendekatan yang dilakukan oleh PYC adalah pendekatan 4A, yaitu, Availability, Accessibility, Affordability, dan Acceptability. Dengan terpenuhinya keempat aspek tersebut, maka suatu negara akan mandiri secara energi.

Di sisi lain, pencapaian ketahanan energi nasional haruslah selaras dengan program pemerintah, salah satunya dalam mitigasi krisis iklim. Secara umum, strategi optimalisasi dari Pengembangan dan Penggunaan EBT difokuskan terhadap tiga aspek berikut: Teknologi, Kebijakan, dan Pembiayaan. Selaras dengan ACE, kolaborasi antara Pemerintah, Industri, Bisnis, Masyarakat, Akademisi, dan Lembaga non-profit merupakan kunci untuk menyukseskan transisi energi.

Widhyawan Prawiraatmadja dalam tanggapannya menyampaikan bahwa disrupsi energi global sudah terjadi dan mengganggu transisi energi secara masif. Beberapa strategi dan kebijakan harus diarahkan untuk mengatasi kebijakan dekarbonisasi ini. Beberapa strategi pada sektor energi yang disampaikan oleh Widhyawan adalah untuk fokus kepada dekarbonisasi sektor energi, moratorium batubara, dan meningkatkan sumber energi terbarukan. Untuk sektor transportasi, masyarakat perlu beralih ke moda transportasi massal dan meningkatkan penggunaan biofuel dan EV. Dalam segi industri, batu bara digantikan oleh gas dan biomass, juga dengan melakukan efisiensi penggunaan listrik.

Sedangkan Anissa Suharsono, menyampaikan bottleneck daripada transisi energi berada pada sisi kebijakan. Dinilai kebijakan tersebut belum mampu untuk membangun iklim kondusif untuk investasi energi terbarukan dalam jangka panjang. Hal ini membuat dunia memiliki ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ketika terjadi disrupsi energi. Ditumpangi dengan masalah affordability, apakah subsidi bahan bakar fosil bagi rakyat ketika terjadi disrupsi energi merupakan strategi yang tepat? Nyatanya, banyak subsidi yang tidak tepat sasaran dan tidak begitu berdampak terhadap tingkat keterjangkauan energi masyarakat. Sependapat dengan Widhyawan, Anissa juga menyatakan bahwa strategi yang harus diterapkan adalah mengurangi secara bertahap penggunaan batu bara dan subsidi dari bahan bakar fosil dan menetapkan roadmap yang jelas untuk rencana transisi energi ke depannya.

Sebagai penutup, Filda menegaskan kembali tentang pendekatan 4A dan pentingnya pengembangan sektor energi dengan memperhatikan transisi energi ke energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Kemudian, di tengah transisi energi yang semakin masif, sektor fosil tetap dapat berkontribusi untuk ketahanan energi dan keberlanjutan, yaitu dengan melakukan diversifikasi portofolio bisnis melalui pengembangan EBT, integrasi dengan industri petrokimia, dan mengutamakan aspek ESG dalam keberlangsungan bisnis. Di sisi lain, diversifikasi pembangkit listrik menjadi kunci untuk memenuhi target NZE. (ANP)