Asosiasi UPK NKRI Gelar Aksi Damai Tuntut Presiden Cabut Pasal 73 PP 11 Th 2021 tentang BUMDes

ANP • Monday, 23 May 2022 - 11:57 WIB

JAKARTA - Ratusan massa dari Asosiasi Unit Pengelola Kegiatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Asosiasi UPK NKRI) yang diikuti perwakilan UPK dari seluruh Indonesia sekitar 1000 orang, menggelar aksi damai di patung kuda monas. Mereka menyampaikan aspirasi kepada Presiden Republik Indonesia, dengan tuntutan pencabutan Pasal 73 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2021 tentang BUMDes yang mewajibkan transformasi UPK Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat (DAPM) menjadi Bumdesma.

Dengan menyampaikan aspirasinya dengan berorasi dan membubuhkan tandatangan dalam kain putih berukuran besar, sebagai bentuk aksi damai Asosiasi UPK NKRI.

Ketua Umum Asosiasi UPK NKRI, Asep Septuna Sukirman meminta Pemerintah melakukan revisi terhadap PP Nomor 11 Tahun 2021 tentang Bumdes terkhusus Klausula pasal 73 agar dihapuskan seluruhnya,
atau paling tidak merubah frasa “wajib” yang terdapat pada Pasal 73 ayat (1) menjadi “dapat”, sehingga memberikan opsi/pilihan kepada kelembagaan Eks PNPM MPd untuk dapat beralih menjadi Bumdesma atau tidak, dan bukan merupakan sebuah kewajiban mutlak.

“Menolak Transformasi UPK menjadi Bumdesma dan mendukung UPK dan Bumdesma berjalan bersama serta berintegrasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat di perdesaan demi percepatan penanggulangan kemiskinan di Daerah dan Meminta Pemerintah agar menjadikan badan hukum Bumdesma sebagai salah satu pilihan Badan Hukum bagi kelembagaan Eks PNPM MPd selain pilihan badan hukum lain yang diamanatkan oleh Perpres Nomor 2 Tahun 2015 yakni (1) PBH, (2) Koperasi, (3) Perseroan Terbatas,” tegasnya dalam aksi di Jakarta, Senin (25/5/2022).

Asep menegaskan, DPP Asosiasi Nasional UPK NKRI menyatakan tidak menerima putusan tersebut dan menganggap putusan itu sama sekali tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat miskin subjek hukum pemegang hak atas aset Eks PNPM MPd, terkait putusan judicial review perkara nomor 32 P/Hum/2021 Dan Fakta Hukum Pasal 73 Pp 11 Tahun 2021.

Menurutnya, terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan dalam putusan ini diantaranya adalah, lelemahan putusan MA ini, yaitu gagal memperlihatkan argumentasi dalam hal teori, asas, prinsip, dan hukum, karena sangat bersifat formalistik, dan kelemahan pembuktian, karena para hakim sebagian besar hanya cenderung mengikuti argumentasi dan dalil-dalil yang disampaikan Termohon dengan menanggapi alasan-alasan pemohon, namun tidak menjawab pertanyaan pemohon.

“Hakim gagal menghadirkan penalaran hukum yang wajar dalam putusannya contohnya saja terkait dengan fakta dan bukti yang diajukan pemohon bahwa hari ini mayoritas UPK telah Berbadan Hukum sama sekali tidak menjadi pertimbangan hakim padahal tentu hal ini memiliki konsekuensi hukum jika sebuah lembaga berbadan hukum akan dialihkan menjadi kelembagaan lain sekalipun atas dalil hal tersebut merupakan ranah tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Desa PDTT,” katanya.

Menurutnya, hakim gagal melihat persoalan ini secara utuh misalnya terkait dengan Frasa “Dapat” yang diatur dalam UU Desa yang kemudian dianggap memiliki konteks yang berbeda dengan frasa “Wajib” yang ada dalam Pasal 73 ayat (1) PP 11/2021 karena menunjuk pada subjek yang berbeda adalah sebuah pemahaman yang tidak utuh, karena sekalipun subjek nya berbeda yakni Desa dan Kelembagaan Eks PNPM MPd tapi objek yang diatur sama yakni BUM Desa Bersama yang secara prinsip dasar, persoalan pembentukannya harus diserahkan kembali ke Desa dan/atau masyarakat desa sebagai lembaga atau subjek yang akan merasakan manfaat dari BUM Desa bersama tersebut. Artinya bahwa sekalipun proses nya berbeda tapi objek yang akan dibentuk sama (BUM Desa Bersama) maka seharusnya frasa “dapat” juga harus tetap dipertahankan mengigat hal tersebut tetap menjadi opsi dari desa berdasarkan hasil musyawarah desa dan pertimbangan lain dalam pengambilan keputusan prioritas program Desa. Maka jika dilihat secara utuh pada hal tersebut seharusnya Frasa “wajib” dalam Pasal 73 ayat (1) PP a quo bertentangan dengan UU 6/2014 Pasal 87 ayat (1) : “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa. UU 11/2020 Pasal 117 angka 2: pasal 87 ayat (1) “ Desa dapat mendirikan Bumdesa”.

“Hakim gagal melihat adanya inkonsistensi norma (Inconsistency Norm) dalam Pasal 73 PP 11/2021. Dimana dalam Pasal 16 ayat (1) PP 11/2021 mengatur “Musyawarah Desa/Musyawarah Antar Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Bum desa/Bum desa bersama.” Artinya keputusan terkait pembentukan BUM Desa bersama seharusnya disepakati di MAD tapi disisi lain Pasal 73 ayat (1) menggunakan Frasa “wajib” yang bermakna sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan, sudah semestinya, harus. Artinya ada inskonsistensi norma dimana pasal 16 ayat (1) mengembalikan kepada MAD sebagai keputusan tertinggi sementara Pasal 73 ayat (1) mewajibkan yang artinya sekalipun MAD menyepakati untuk tidak membetuk BUM Desa bersama tapi aturan ini tetap memaksakan agar BUM Desa dibentuk,” ujarnya.

Ia menilai pada sebuah system persidangan yang hanya menganalisa Tuntutan pemohon dan Jawaban termohon melalui tulisan tanpa mendengarkan debat argumentasi secara langsung, pertimbangan hukum hakim dalam putusan perkara ini sangat formalistik dan kurang menggali substansi aturan yang sebenarnya secara lebih mendalam. Misalnya hakim hanya melihat UPK sebagai Lembaga Eks Program Nasional yang kemudian diganti dengan Lembaga lain sesuai dengan keinginan pemerintah tanpa melihat sisi lain terkait dengan efektifitas program penanggulangan kemiskinan, prinsip-prinsip dasar kelembagaan dan tentunya aspirasi publik yang berkembang.

“Adapun beberapa fakta hukum terkait terbitnya Pasal 73 PP Nomor 11 Tahun 2021 adalah sebagai berikut: Pasal 73 tidak memiliki dasar norma atau berdiri sendiri, karena baik di UU Cipta Kerja maupun UU Desa tidak ada satupun klausula yang mengatur tentang eks PNPM; Pasal 73 merusak tata kelola keuangan negara, karena menimbulkan retroaktif peraturan perundangan keuangan negara, dimana dana bantuan langsung masyarakat yang disalurkan melalui belanja bantuan sosial dan bersifat lepas diatur dan diminta kembali melalui Desa/BumDes/BumDes Bersama; Pasal 73 mengabaikan amanat Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015, perihal pemilihan bentuk badan hukum pengelola DAPM; Pasal 73 menunjukkan inkonsistensi pemerintah terkait regulasi pembinaan kelembagaan eks PNPM pasca pengakhiran program, dimana dalam Perpres nomor 2 tahun 2015 yang mengharuskan penerbitan peraturan pemerintah (PP) tentang legal formal DAPM atau khusus mengatur terkait kelembagaan DAPM, malah merelease Peraturan Pemerintah nomor 11/2021 yang didalamnya kemudian menyelundupkan pasal 73 ayat 1 yang mewajibkan pengelola dana bergulir eks PNPM menjadi BumDes Bersama. Ambivalensi pemerintah ini memicu kegaduhan karena menimbulkan ketidak pastian hukum,” tegas Ketua Umum Asosiasi UPK NKRI, Asep Septuna Sukirman.

Rencananya perwakilan massa Asosiasi UPK NKRI akan menemui presiden untuk menyampaikan aspirasinya. Aparat kepolisian menjaga ketat aksi damai itu. Aksi ini sempat membuat arus lalu lintas di jalan Medan Merdeka Barat Jakarta Pusat tersendat. (ANP)