Terkait Isu Bahaya Mikroplastik, Masyarakat Diminta Bijak

ANP • Wednesday, 18 May 2022 - 11:44 WIB

JAKARTA - Maraknya pemberitaan isu bahaya mikroplastik pada air kemasan perlu disikapi bijak oleh masyarakat. Ini lantaran sebelumnya Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan, Rita Endang, telah menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada risiko kesehatan terkait mikroplastik. 

"Masyarakat tak perlu cemas," kata Rita dalam sebuah sesi dialog publik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia belum lama ini. "Sampai saat ini, belum ada resiko kesehatan terkait mikroplastik."

Berbicara dalam forum Sosialisasi Keamanan Kemasan Bahan Pangan Berbahan Baku Plastik yang Mengandung Unsur BPA yang digelar secara daring pada Oktober tahun lalu, Rita meminta masyarakat tidak mudah termakan isu. "Badan POM tak pernah lepas dari mengawasi segala hal terkait keamanan dan mutu obat dan makanan untuk menjaga kesehatan masyarakat," katanya. 

Menurut Rita, mikroplastik pada dasarnya adalah "unsur serpihan plastik" yang tak kasat mata, ukuran satu hingga lima mikrometer. Mikroplastik pada dasarnya ada di semua unsur plastik jika sampai mengalami degradasi, alias rutuh dari badan polimer, baik karena karena perubahan suhu, gesekan dan sebagainya. "Degradasi itu bisa terjadi pada plastik jenis PET, PC, PP," katanya merujuk pada jenis plastik yang jamak dijumpai di pasaran dalam wujud wadah botol plastik air minum.  

Namun, merujuk pada maklumat organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Rita menyatakan WHO belum merekomendasikan pemantauan rutin atas kontaminasi mikroplastik dalam air kemasan. "Sampai saat ini, belum ada resiko kesehatan terkait mikroplastik," katanya menegaskan. 

Lebih jauh, dia menyebut bahwa pada 2020, rapat bersama Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives menyampaikan mikroplastik belum perlu jadi prioritas analisis. "Bahkan pada 2021 otoritas keamanan pangan tertinggi Eropa, European Food Safety Authority, juga menyampaikan hal yang sama: pemantauan rutin mikroplastik belum menjadi prioritas," katanya.

Senada dengan itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia, Rachmat Hidayat, mengatakan belum ada studi ilmiah yang secara kuat membuktikan bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia. “The Joint WHO#FAO Committee on Food Additives selaku lembaga pengkaji risiko untuk keamanan pangan belum mengevaluasi toksisitas mikroplastik,” katanya. 

Isu bahaya mikroplastik pada air minum menjadi isu hangat di banyak negara, termasuk Indonesia, setidaknya dalam empat tahun terakhir. Pemantiknya adalah laporan hasil riset uji kontaminasi mikroplastik pada air keran (tap water) dan pada air minum dalam kemasan plastik pada 2018. 

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), data awal seputar kontaminasi mikroplastik pada air minum dalam wadah botol plastik banyak merujuk pada hasil riset Departemen Kimia, State University of New York at Fredonia, Amerika Serikat. Dari riset itulah kemudian bermunculan banyak penelitian sejenis, berikut gunungan pertanyaan, dan juga kecemasan, atas dampak kontaminasi mikroplastik dalam air minum pada tubuh manusia.

Riset Fredonia itu, terbit dengan judul "Synthetic Polymer Contamination in Bottled Water" di jurnal Frontier in Chemistry pada September 2018, mencakup uji kontaminasi mikroplastik atas 11 merek air minum kemasan botol plastik di sembilan negara, termasuk air minum merek AQUA dari Indonesia. 

Pada intinya, penelitian berujung temuan bahwa 93% dari total 259 botol sampel air minum kemasan yang diuji menunjukkan "sejumlah tanda telah terjadi kontaminasi mikroplastik". Dengan bantuan program komputer, riset menghitung ukuran, konsentrasi dan jenis mikroplastik pada semua sampel. Dari situ diketahui rata-rata ada 10,4 partikel mikroplastik dengan ukuran di atas 10 mikrometer per liter dalam setiap botol sampel. Sementara itu, pemeriksaan dengan mikroskop FTIR mengonfirmasi partikel renik yang berhasil diidentifikasi adalah polimer plastik dengan jenis yang paling dominan adalah polypropylene -- jamak digunakan sebagai bahan baku produksi tutup botol air minum kemasan. 

Bagian lain laporan menyebut kontaminasi mikroplastik pada sampel yang diuji kemungkinan bersumber dari kemasan plastik dan atau saat proses pengisian air minum di pabrik pengolahan. Dalam bagian akhir, laporan mempertimbangkan fakta belum ada penelitian yang konklusif terkait dampak kontaminasi mikroplastik pada manusia dan fenomena masifnya konsumsi air minum kemasan di seluruh dunia. Karena itu, riset merekomendasikan pengurangan produksi dan konsumsi air minum kemasan botol plastik, utamanya untuk mereka yang tinggal di wilayah dimana masih tersedia air keran yang bersih dan sehat.

Banyak yang mengamini rekomendasi itu. Salah satunya adalah peneliti di Pusat Riset dan Kajian Obat dan Makanan Badan POM. Dalam "Kajian Risiko" mikroplastik pada air kemasan pada akhir Desember 2020, peneliti lembaga menyarankan "tindakan pengendalian berupa pengurangan penggunaan plastik", pemetaan cemaran mikroplastik pada sampel air baku, air minum dan air yang digunakan untuk produksi Obat dan Makanan, dan identifikasi "titik-titik kritis" kemungkinan terjadinya kontaminasi pada proses pengolahan air minum kemasan. 

WHO sendiri, pada 2019, dalam sebuah laporan komprehensif bertajuk "Microplastic in Drinking-water", menjawab pertanyaan dan kecemasan global ihwal kemungkinan dampak mikroplastik dalam air minum pada kesehatan manusia. Setebal 124 halaman, laporan menggambarkan mikroplastik sebagai ubiquitous, ada dimana-mana, di semua lingkungan, dari perairan laut hingga makanan, dari udara hingga air minum, baik dalam botol maupun dari air keran. Hanya saja, kata lembaga, belum ada penelitian yang konklusif ihwal efeknya pada kesehatan manusia dan sebab itu tak perlu jadi biang kecemasan. (ANP)