Kebijakan Zero Covid-19 Tiongkok

MUS • Saturday, 23 Apr 2022 - 14:08 WIB

Oleh : Imron Rosyadi Hamid
Rektor Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Dalam buku "Following The Leader, Ruling China From Deng Xiaoping to Xi Jinpin", David M. Lampton (2014), membuat komparasi model kepemimpinan negara berpenduduk terbesar di dunia ini berdasarkan perjalanan waktu. 

Para pemimpin China saat ini memiliki perbedaan cara dalam membangun basis legitimasi di hadapan rakyatnya dibandingkan dengan pemimpin generasi awal. 

Pemimpin Tiongkok seperti Mao Zedong dan Deng Xiaoping selain memiliki keterkaitan sejarah langsung dengan peristiwa revolusi, juga membangun legitimasinya berbasis posisi di partai, birokrasi, militer, dan representasi dari wilayah geografis utama. 

Sebaliknya, menurut Lampton, pemimpin China sesudah Deng membangun legitimasi berbasis kinerja melalui upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial, perluasan kesempatan kerja bagi warga negara, dan sebagainya. Mereka disibukkan untuk mengatur sejauh mana hal tersebut bisa dikelola dengan baik serta menempatkan pentingnya “opini publik” untuk mengukur keberhasilannya.

Guru Besar Emeritus di John Hopkin Paul H. Nitze School of Advance International Studies ini mencontohkan apa yang disebut oleh para ilmuwan politik sebagai responsive authoritarian. Ketika wabah SARS meledak di akhir tahun 2002 dan awal 2003, Presiden Hu Jintao yang terpilih di bulan Maret 2003 langsung mengganti Menteri Kesehatan era Jiang Zemin bernama Zhang Wengkang karena dianggap tidak berhasil mengatasi wabah SARS. 

Tulisan ini ingin membedah sejauh mana pemerintahan Xi Jinping melakukan ikhtiar melawan wabah Covid-19 melalui kebijakan terbarunya yang dikenal dengan pendekatan ‘Nol Dinamis’ (dynamic zero-Covid approach) dalam menghadapi serangan varian baru Covid 19 yang terjadi di beberapa wilayah di China belakangan ini.

Tujuan Pendekatan Nol Dinamis

Akhir Maret lalu, Thomas Hale, pakar Ilmu Pemerintahan dari Oxford University menulis sebuah artikel berjudul "What We Learned From Tracking Every Covid Policy in The World" dan menjelaskan berbagai kebijakan pemerintahan di dunia dalam mengatasi Covid-19 yang berbeda-beda.

Negara-negara seperti China, Vietnam, Selandia Baru dinilai telah menerapkan kebijakan dengan hasil gemilang: tidak sekedar menurunkan kurva (munculnya kasus covid-19) tetapi juga membuat kurva tersebut terus melandai (Theconversation, 24 Maret 2022). 

Kebijakan Nol Dinamis (Dongtai Qing Ling) mulai diterapkan China sejak Agustus 2021 setelah munculnya varian delta sebagai langkah lanjutan dari tahapan normalisasi, pencegahan dan kontrol penyebaran Covid-19 yang telah dimulai pada bulan Mei 2021. 

Strategi Nol Dinamis ini menyangkut model pemantauan dan peningkatan kemampuan deteksi dini, mengawasi rantai transmisi dan melakukan penelusuran tepat waktu dari sumber sirkulasi varian baru Covid 19 secara akurat, dengan menerapkan langkah-langkah manajemen yang terkontrol secara ketat, hemat dan cepat. 

Tujuan paling penting kebijakan Nol Dinamis ini untuk meminimalkan dampak epidemi terhadap perekonomian termasuk menjaga kapasitas produksi sektor barang dan jasa dan tidak menganggu kehidupan masyarakat secara luas atau dengan kata lain kebijakan baru ini untuk menyeimbangkan pencegahan dan pengendalian covid-19 ini dengan stabilitas sosial ekonomi (Jue Liu, dkk 2022).

Pengaruh terhadap Perekonomian

Sejak Pendekatan Nol Dinamis yang dijalankan, perkembangan  perekonomian Tiongkok terutama di sektor perdagangan cukup menggembirakan. Menurut laporan dari kementerian perdagangan China  (Ministry of Commerce of PRC) tanggal 8 April 2022 lalu ada peningkatan volume perdagangan Tiongkok sebesar 33,5 persen dalam dua bulan pertama tahun 2022 dengan nilai 953,48 miliar RMB, dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. 

Total ekspor China naik 39,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dengan nilai 467,58 miliar RMB. Sedangkan total impor negeri Tirai Bambu ini juga mengalami kenaikan sebesar 28,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dengan nilai 485,9 miliar RMB.

Di sektor ekspor perdagangan jasa, China juga mencatat pertumbuhan sebesar 11,1 persen dan berhasil menurunkan defisit perdagangan jasa sebesar 57,6 persen. Defisit perdagangan jasa China berada di angka 18,31 miliar RMB, yakni lebih rendah 24,91 miliar RMB dibanding tahun 2021.

Perdagangan jasa Tiongkok yang menunjukkan pertumbuhan menggembirakan tersebut meliputi perdagangan dalam layanan padat pengetahuan (knowledge Intensive services). Dari Januari hingga Februari 2022, impor dan ekspor layanan padat pengetahuan mencapai angka 382,4 miliar RMB, meningkat 17,9% dengan komposisi ekspor layanan padat pengetahuan sebesar 219,69 miliar RMB, meningkat 20,3%. 

Daerah yang mengalami pertumbuhan ekspor yang pesat adalah royalti HKI (Hak Kekayaan Intelektual), telekomunikasi, jasa komputer dan informasi serta jasa komersial lainnya, masing-masing tumbuh 72,1%, 25,7%, dan 17,1%. Sisanya, Impor layanan pengetahuan-intensif mencapai angka 162,71 miliar RMB, naik 15% serta Impor jasa asuransi tumbuh pesat sebesar 124,9%.

Impor dan ekspor jasa perjalanan (travel services) juga mengalami pemulihan. Dari Januari hingga Februari 2022, total impor dan ekspor jasa perjalanan China sebesar 149,77 miliar RMB, naik sebesar 16,9%, di mana ekspor turun 7,1% dan impor naik 19,1%. 

Di luar sektor jasa perjalanan, volume impor dan ekspor jasa Tiongkok juga meningkat sebesar 37,2% dari Januari hingga Februari, di mana ekspor meningkat sebesar 41% dan impor meningkat sebesar 32,5%. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019, impor dan ekspor jasa meningkat sebesar 59,4%, dimana ekspor meningkat sebesar 75,3% dan impor meningkat sebesar 42,4%.

Kritik terhadap kebijakan Nol Dinamis

Meskipun dampak positif kebijakan Nol Dinamis telah dirasakan di bidang perekonomian terutama di sektor perdagangan, tetapi kritik akan kebijakan tersebut juga muncul. 

Salah satunya ketika otoritas China melakukan lockdown ketat di Xi’an sebuah kota bersejarah yang memaksa tigabelas juta penduduknya untuk tetap tinggal di dalam rumah hanya karena ada 150 kasus covid-19 yang berkonsekuensi adanya pemenuhan kebutuhan bahan pokok bagi masyarakat secara masif.

Hal yang sama juga terjadi di Zhengzhou setelah muncul 11 kasus penularan covid baru. Meskipun demikian, Tiongkok sepertinya akan terus mempertahankan kebijakan Nol Dinamis ini karena dianggap memiliki daya pencegahan penularan covid-19 secara efektif, murah dan cepat demi memastikan pembangunan ekonomi dan sosialnya tidak terganggu.

Wallahu a’lam bi asshawab