Terawan Diberhentikan IDI, Guru Besar Undip: Ia Melakukan Malpraktek 

MUS • Monday, 28 Mar 2022 - 22:17 WIB

Jakarta – Hasil rapat sidang khusus Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) memutuskan pemberhentian permanen mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan Agus Putranto, dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), karena diduga melakukan pelanggaran kode etik. Keputusan tersebut dibacakan dalam Muktamar ke-31 IDI di Kota Banda Aceh, Jum’at (25/03/2022).

Menanggapi hal ini, Guru Besar Ilmu Bedah Saraf Universitas Diponegoro, Prof. Zainal Muttaqin, mengatakan prosedur etik jika ada pelanggaran seperti ini sudah diatur dalam UU praktek kedokteran. Seseorang yang ingin melakukan praktek kesehatan, harus mengikuti ketentuan yang ada dan memiliki surat izin praktek dari Pemerintah, berdasarkan rekomendasi dari IDI.

Melihat pada kasus Terawan, Zainal mengatakan metode DSA yang dipraktekkan eks Menkes itu seharusnya hanya dilakukan untuk diagnosis dan oleh 3 kompetensi bidang ilmu kedokteran. Yakni ahli ilmu radiologi, ahli bedah saraf dan spesialis saraf dengan kompetensi  tambahan. Namun yang dilakukan oleh Terawan adalah menggunakan DSA sebagai alat untuk mengobati berbagai macam penyakit, atas permintaan pasien. Dan itu dianggap melanggar kode etik kedokteran.

“Jadi tidak bisa itu kita tulis sendiri kita publikasikan dalam jurnal sendiri. Harus dalam jurnal kajian ilmiah, dan hasilnya diterima, tidak boleh atas dasar testimony based medicine,” ujar Zainal dalam Trijaya Hot Topic Pagi, Senin. (28/03/2022)

Zainal pun menilai, yang dilakukan Terawan merupakan malpraktek, karena dilakukan tanpa basis sains yang memenuhi syarat, terutama penggunaan human subject sebagai trial.

“Yang dilakukan Terawan itu masih boleh kalau memang merupakan uji klinis. Tapi kalau itu uji klinis, kenapa pasiennya bayar? uji klinis tidak boleh ada biaya disitu,” tegas Zainal.

Namun Zainal mengatakan, saat ini Terawan masih bisa mengajukan banding. Terawan diberikan waktu untuk mengajukan keberatan dan pembelaan diri, namun harus Terawan sendiri yang datang kepada MKEK dan bukan diwakilkan oleh kuasa hukumnya.

Terkait pemberhentian yang dilakukan IDI terhadap Terawan, Zainal menilai bahwa riset vaksin Nusantara tidak bisa dilanjutkan oleh Terawan. Karena saat ini riset terhadap vaksin Nusantara diatur oleh BPOM. Sebelumnya BPOM pernah menolak riset pada tahap uji klinis fase 1, namun tiba-tiba dilakukan uji klinis fase 2 di RSPAD.

Zainal menuding ada penggunaan kekuasaan oleh Terawan, yang membuat BPOM dipaksa menandatangani kesepakatan bahwa uji klinis tersebut adalah riset berbasis pelayanan. Ia mengatakan hal itu hanya kesepakatan untuk mencari jalan keluar supaya masing-masing tidak kehilangan muka.

“Katanya sudah melangkah ke berbasis pelayan, publikasikan dong, supaya hasilnya bisa dilihat semua orang, termasuk BPOM menilai, apakah uji klinis fase 2 ini layak dilanjutkan apa tidak. Bukan pelayanan dengan berbayar,” pungkas Zainal. (Fad)