Geliat Kesenian di Negeri Kahyangan, Lereng Merbabu

MUS • Thursday, 24 Mar 2022 - 07:37 WIB

Magelang - Para seniman lereng Merbabu mulai bangkit kembali setelah 2 tahun lebih tanpa panggung. Dengan penuh antusias mereka menggelar panggung kesenian tradisional perdana di Pelataran Agro Wisata Negeri Kahyangan, Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Rabu (23/3).

Pentas Kesenian tradisional Laras Budaya, kali ini menampilkan seni tari Rampak Buto, Soreng, Jathilan dan ‘Tiji Tibeh’ (mukti siji mukti kabeh) mulai bangkit kembali, setelah dua tahun lebih kesenian tradisional dari daerah Magelang itu terhenti akibat pandemi melanda Tanah Air.

Sebelum pementasan seni tradisional itu, acara didahului dengan dialog kebudayaan bersama DPRD Prov Jateng, dengan pembicara Anggota Komisi C DPRD Jateng, Sukardiyono dan Pemerhati Seni Budaya Magelang, Umar dan dimoderatori oleh Dendi Ganda dari Trijaya FM Semarang.

“DPRD Jateng sangat peduli dan respek dengan kesenian tradisional daerah, bahkan kami terus turun ke lapangan dengan melakukan kunjungan ke daerah, untuk terus memantik kegiatan para seniman, mengingat generasi muda kita, mulai menjauhi kebudayaan bangsanya,” ujar Sukardiyono. 

Selain itu, lanjutnya, DPRD Jateng juga berupaya untuk ikut melestarikan dengan mengajak semua pihak, terutama kalangan generasi muda untuk terus ‘nguri-uri’ kesenian tradisional dan menjaga kelestarian budaya daerah.

“DPRD Jateng akan terus mendorong para seniman dapat mempertahankan dan mengembangkan kesenian tradisional daerah yang nyaris punah, akibat gempuran budaya modern,” tutur Sukardiyono.

Menurutnya, kesenian tradisional harus dilestarikan karena merupakan warisan leluhur dan perlu dijaga jangan sampai tergerus oleh masuknya kesenian modern yang bermunculan.

Rampak-Buto dan Jathilan

Kalangan anak muda, tutur Sukardiyono, sebagai tulang punggung bangsa harus mencintai kesenian tradisional jangan sebaliknya mengagumi budaya impor. Sedangkan banyak warga Negara lainnya yang berkeinginan datang ke Indonesia berebut untuk belajar kesenian tradisional daerah dan mereka sangat menyukai.

Dia menuturkan masyarakat yang terlibat dalam seni dan budaya tradisional daerah dapat mengusulkan atau menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah maupun DPRD setempat melalui berbagai kesempatan kunjungan, sehingga eksekutif dan legislatif akan melakukan kajian dan membahas soal pelestarian seni dan budaya.

DPRD, lanjutnya, bersama Pemerintah Provinsi Jateng konsen terhadap budaya kesenian tradisional, karena merupakan akar sejarah dan warisan leluhur, sehingga upaya ‘nguri-uri’ budaya merupakan bentuk sosial sebagai modal untuk menjaga, mempertahankan serta melestarikan budaya tradisional.

Sukardiyono menambahkan DPRD Jateng juga mulai menggelar progam pagelaran kesenian tradisional di berberapa daerah yang diharapkan dapat membantu membangkitkan kembali kesenian tradisional, mengingat di Jateng memiliki beraneka ragam kesenian tradisional, sehingga kegiatan ini sekaligus dapat ikut melestarikan budaya daerah sebagai warisan leluhur.

Selama ini, tutur Sukardiyono, seni dan budaya sudah masuk dalam pokir (pokok-pokok pikiran) DPRD. Bahkan sektor tersebut sudah bisa mendapatkan anggaran dari pemerintah sebagai wujud kepedulian dalam upaya perlindungan dan pelestarian budaya.

“Mudah-mudahan pandemi ini cepat berakhir, karena dampaknya mengakibatkan sektor perekonomian menjadi lesu, termasuk seni dan budaya. Namun, para seniman diharapkan mampu berkreasi dengan mengemas pementasan maupun pagelaran kesenian yang baik, mematuhi protokol kesehatan hingga dipastikan mereka bisa kembali bangkit,” ujar Sukardiyono.

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak Maret 2020 lalu hingga saat ini banyak sektor perekonomian yang terdampak, tidak hanya pariwisata, perhotelan, industri, namun seni dan budaya, banyak seniman yang ikut terpuruk tidak memperoleh job pementasan.

Meski para seniman telah berupaya melakukan berbagai kreatif dengan memanfaatkan teknologi agar mereka bisa tampil melalui daring (online) di berbagai media sosial, namun tetap saja masih kesulitan untuk mendapatkan penghasilan yang maksimal, seperti sebelum pandemi.

“Namun, di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang ini para seniman masih dapat berupaya dengan memperoleh penghasilan dari bertani, mengingat selama ini para seniman di daerah itu juga sebagai petani komoditas pangan, selain itu kesenian di sini justru berkembang, bahkan ada 40 jenis kesenian tradisional yang digeluti warga. Karena mereka berkesenian dengan hati tidak semata-mata mencari penghasilan dan nguri-uri peninggalan leluhur mereka, itu yang paling diutamakan,” jelas Umar Pemerhati Budaya dari Kabupaten Magelang itu.

Tari ‘Tiji Tibeh’

Menurutnya, seniman di Wonolelo selalu memiliki cara kreatif untuk menyikapi keadaan atau kahanan. Panggung sederhana ini merupakan awal kembangkitan kembali kreativitas mereka.

Desa Wonolelo, tutur Umar, merupakan gudang seniman. Desa dengan 18 dusun ini memiliki sebanyak 40 jenis kesenian, hampir setiap dusun mempunyai kesenian lebih dari dua jenis.

Umar menambahkan dengan mulai adanya kelonggaran bisa manggung, seniman bisa berkreasi lagi meski dengan keterbatasan waktu, namun ini sebagai tanda-tanda kebangkitan kembali kesenian tradisional yang ditunggu-tunggu para seniman.

Sebagai pegiat kesenian tradisional, Umar mengapresiasi upaya DPRD Jateng yang memberikan stimulus kepada para seniman agar tetap berkreasi dan ikut melestarikan kekayaan budaya bangsa.

Usai berdialog, digelar pentas beberapa seni tari budaya Desa Wonolelo,  dengan diawali  penampilan tari Rampak Buto dan Jathilan yang dimainkan seniman dari Sanggar Surya Budaya Dusun Wonolelo pimpinan Wagiman.

Geliat Panggung seni tari tradisional ini bahkan sempat mendaulat Sukardiyono ikut naik panggung untuk menirukan tarian yang diiringi kemandangnya gending kerawitan. Tari Rampak Buto nampaknya benar-benar terasa gayeng lagi, karena ruang ekspresi seniman ini menjadi awal kebangkitan mereka setelah terpuruk akibat pandemi.

Penampilannya yang lincah dengan membawakan tari Rampak Buto membuat ratusan penonton, termasuk para wisatawan domestik yang tengah berwisata di Negeri Kahyangan itu bertepuk tangan dan penuh antusias mereka ramai-ramai mengabadikan gambar dengan mengambil foto melalui ponsel masing-masing secara bergantian.

Tari Rampak Buto ini memiliki gerakan dan hentakan kaki yang lincah. Tari ini menggambarkan Raksasa atau Buto yang membuatnya nampak serem sehebat manusia perkasa.

Tarian ini juga mengambil unsur garang dari kemarahan sang Buto. Sedangkan tari Jathilan yang berasal dari bahasa Jawa ‘Jarane dan thil-thilan’ yang akhirnya Jarane (Kudanya) berjoget lincah.

Tari Soreng

Di antara tari Rampak Buto dan Jathilan yang lincah ini akhirnya dapat menciptakan keindahan yang digambarkan oleh tarian cantik yang dimainkan para seniman dari Sanggar Surya Budaya itu.

Setelah tari Rampak Buto dan Jathilan disusuli pertunjukkan tari Soreng dan ‘Tiji Tibeh’ (mukti siji mukti kabeh) yang dipersembahkan oleh para seniman dari Sanggar Wahyu Budaya pimpinan Jeman.

Penampilan yang tak kalah menarik pun mulai naik panggung. Tari ‘Tiji Tibeh’ juga sangat lincah. Tari ini menggambarkan kebersamaan prajurit dalam memperjuangkan satu tujuan dan merupakan tarian yang juga menceritakan keprajuritan jaman Mangkunegaran I, dimana Raden Said atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya yang juga dikenal sebagai Adipati Samber Nyawa sedang membentuk pasukan prajurit di Mangkunegaran untuk menghadapi musuh-musuhnya, sehingga Raden Said memberikan semangat kepada para prajuritnya dengan semboyan ‘Tiji Tibeh’ yang mengandung arti ‘Makmur Satu, Makmur Semua’.

Semboyan inilah yang membuat terbakarnya semangat kebersamaan para prajurit, sehingga terbentuklah pasukan prajurit yang gagah dan berani dalam satu rasa, satu jiwa dan satu hati untuk memenangkan peperangan.

Tari ‘Tiji Tibeh’ ini sangat menarik para penonton pun kembali bersorak-sorak dan berebut untuk mengabadikan gambar melalui ponsel masing-masing hingga tarian berakhir sekaligus menutup pagelaran kesenian tari tradisional Wonolelo tersebut.