PKS: Pangkal Radikalisme Bukan Agama, Tapi Ketimpangan Ekonomi

MUS • Thursday, 10 Mar 2022 - 14:46 WIB

Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerbitkan daftar ciri penceramah radikal. Hal itu diungkap ke publik menyusul ucapan Presiden Jokowi yang menyinggung penceramah radikal dalam rapat pimpinan TNI-Polri, Selasa (1/3/2022).

Menurut versinya, BNPT menyebut penceramah radikal memiliki ciri diantaranya: mengajarkan anti Pancasila dan pro khilafah; mengajarkan paham takfiri; sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah; sikap eksklusif; dan anti budaya/kearifan lokal keagamaan.

Merespons hal tersebut Anggota DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf angkat bicara. Bukhori menyayangkan cara pencegahan radikalisme yang dilakukan oleh BNPT lantaran dapat memicu kesalahpahaman dan perpecahan di tengah masyarakat.

“Masalah pencegahan radikalisme tidak bisa ditanggulangi dengan strategi yang berisiko membelah masyarakat. Selain terkesan menyudutkan umat Islam, indikator yang dipaparkan oleh BNPT cenderung sumir sehingga dapat memicu tafsir liar bagi masyarakat awam karena tidak dibarengi oleh penjelasan yang komprehensif pada setiap poin indikatornya. Maka, akan sangat wajar muncul kekhawatiran bila sejumlah indikator tersebut berpotensi disalahpahami oleh sebagian pihak, kemudian mengkristal dalam perasaan saling curiga ataupun sentimen yang pada akhirnya bermuara pada disharmoni sosial,” kritik Bukhori, Rabu (9/3/2022).

Anggota Komisi VIII DPR RI ini menyatakan, dalam konteks global, stigma terhadap radikalisme, khususnya yang menyasar umat Islam, kian memudar di berbagai belahan dunia.

Salah satu buktinya adalah prakarsa DPR Amerika Serikat (AS), yang juga didukung oleh Presidennya, yang meloloskan Undang-Undang Anti-Islamofobia pada 14 Desember 2021 silam. Selain AS, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga telah mengumumkan akan segera mengangkat duta besar khusus untuk memerangi Islamofobia.

“Masyarakat dunia telah tiba pada satu kesadaran bahwa akar dari radikalisme bukanlah agama. Narasi agama sebagai basis kekerasan yang dikemas dalam bentuk Islamofobia sudah usang di Barat maupun di belahan dunia lainnya. Sehingga, ketika kita masih berkubang dalam narasi serupa, maka sangat tidak relevan dengan apa yang menjadi isu prioritas global saat ini seperti mitigasi dampak perubahan iklim dan pemulihan dari pandemi,” tegasnya.

Lebih lanjut, anggota Komisi Sosial DPR ini menyebut pangkal radikalisme adalah ketidakadilan, baik di bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Tidak hanya itu, hilangnya kesejahteraan dan rasa aman serta munculnya rasa keterasingan di negeri sendiri juga turut berkontribusi terhadap munculnya bibit-bibit radikalisme.

“Jadi akar masalahnya bukan terletak pada agama. Benih-benih kekerasan itu dapat muncul, salah satunya, akibat kian lebarnya jurang ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Ketimpangan ini muncul ketika pengelolaan sumberdaya ekonomi seperti perkebunan, pertambangan, hutan, dan air bersih dilakukan secara tidak adil karena didominasi oleh kekuatan kapitalis. Sementara di saat yang sama, Negara gagal menunjukan pembelaan yang nyata kepada rakyatnya dan dibuat tidak berkutik di hadapan kekuatan oligarki ekonomi-politik,” tuturnya.

Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, rakyat yang merasa tertindas akibat ketidakberdayaan Negara dalam membela kepentingan mereka menjadi rentan untuk disusupi oleh paham radikalisme-ekstremisme. Apalagi, paham ini menawarkan metode perlawanan untuk mengatasi hegemoni kapitalis dan pemerintah yang dianggap bersekongkol merampas sumberdaya mereka. 

Legislator Dapil Jawa Tengah 1 ini menjelaskan, salah satu cara untuk memutus mata rantai radikalisme adalah dengan mengatasi ketidakadilan di berbagai aspek yang bersentuhan dengan kebutuhan dasar masyarakat. Negara, imbuhnya, harus hadir menjawab persoalan ketidakadilan di tengah masyarakat melalui instrumen kebijakan yang memihak pada kaum yang lemah serta konsisten menunaikan amanat konstitusi.

“Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan supaya kekayaan SDA kita dikuasai oleh Negara dan sebesar-besarnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun sayangnya, pemerintah tidak konsisten menjalankan amanat itu. Konstitusi kita seolah dibajak oleh oligarki dengan memaksakan sistem kapitalisme-liberal yang berdampak pada semakin lebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah fokus saja mengatasi hulu persoalan, yakni ketidakadilan ketimbang mengeksploitasi isu radikalisme yang justru memicu pembelahan sosial di masyarakat,” pungkasnya.