Kelola Uang Haji Rp 158 Trilliun, Praktisi Keuangan Syariah Sarankan BPKH Investasi Pada Fasilitas Haji

FAZ • Tuesday, 1 Mar 2022 - 18:37 WIB

OLEH : SIDIQ HARYONO; KETUA UMUM FOSSEI, PRAKTISI KEUANGAN SYARIAH, DAN YOUNG ENTERPRENEUR



Jakarta - Saat ini lebih dari 5 juta calon Jemaah Haji yang tercatat ke dalam daftar tunggu (waiting list) untuk keberangkatan haji dari Indonesia. Antrian calon Jemaah Haji waiting list ini semakin meningkat sebagai dampak dari tidak dilakukannya pemberangkatan Jemaah Haji dalam 2 tahun terakhir karena pandemi covid-19. Di sisi lain, jumlah dana haji yang terkumpul sesuai dengan publikasi yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) meningkat dimana per 31 Desember 2021 mencapai Rp 158,88 Trilyun, sementara nilai manfaat (profit) yang diperoleh Rp 10,55 Triliun atau setara 6,64% terhadap total dana haji.

Nilai manfaat yang diperoleh BPKH tersebut dibagikan kepada Jemaah tunggu dalam bentuk virtual account dan juga dalam porsi terbesarnya digunakan untuk meng-cover kekurangan biaya pelaksanaan ibadah haji (BPIH) bagi setiap jamaah haji yang berangkat. Dari data empat tahun terakhir pelaksanaan haji, subsidi yang diberikan sebesar Rp 42,9 juta bagi tiap Jemaah haji. Sebab jemaah haji hanya membayar Rp 35 juta untuk perjalanan per orang termasuk Rp 5 juta yang dikembalikan kepada jemaah haji sebagai living cost. Padahal, biaya haji per orang selama 40 hari di tanah suci sebesar Rp 72,9 juta atau hampir 60% dari total kebutuhan biaya riil pelaksanaan haji di cover oleh nilai manfaat yang diperoleh dari kelolaan keuangan haji BPKH.

Kondisi di atas semakin tidak ideal bagi BPKH dengan adanya efek pandemi, visi Saudi 2030 dan tren penurunan nilai rupiah terhadap US Dollar ataupun Saudi Real karena dipastikan beban biaya riil yang dibutuhkan untuk memberangkatkan haji bagi setiap jamaah akan semakin berat apalagi bila pemerintah tidak menaikkan setoran haji.

Sesuai dengan UU No 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU 34/2014), BPKH harus mampu mewujudkan tujuan pengelolaan Keuangan Haji yaitu meningkatkan; a) kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji, b) rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, c) dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.

Untuk mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-Undang, peran BPKH dalam pengelolaan keuangan haji seyogyanya tidak hanya berorientasi pada pencapaian nilai manfaat yang dapat diperoleh dari instrument financial, seperti produk perbankan dan surat berharga. Namun juga dapat memberikan asas kemanfaatan dalam capaian rasionalitas dan efisiensi terkait penggunaan Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPIH), berperan langsung dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan juga memberikan benefit lainnya baik langsung atau tidak langsung dalam memberikan kemanfaatan untuk kemaslahatan umat.

Mengingat komposisi biaya haji tersebar ke dalam beberapa pos pengeluaran di beberapa jasa dan produk yang berada di Arab Saudi atau juga dalam bentuk kebutuhan biaya dalam bentuk mata uang asing (SAR atau USD) mencapai ±85% dari kebutuhan biaya haji, maka sesungguhnya BPKH menghadapi potensi risiko pasar karena adanya mismatch antara sumber dana kelolaan mayoritas dalam bentuk rupiah sedangkan pengeluaran dalam bentuk valuta asing. Selain itu, komponen BPIH dalam jangka panjang juga rentan untuk terus meningkat karena adanya potensi perubahan harga yang terjadi baik di Arab Saudi atau di Indonesia.

Maka dari itu, untuk menjaga kesinambungan (sustainability) pengelolaan Keuangan Haji, dapat dicapai dengan natural currency hedging dan cost hedging dalam pengelolaan keuangan haji.  Natural currency  hedging dilakukan dengan menjaga kesimbangan komposisi jumlah asset produktif investasi BPKH dalam bentuk valuta asing agar sesuai dengan porsi kewajiban BPIH dalam valuta asing, tentunya dengan tetap mempertimbangkan capaian nilai manfaat investasi yang optimal. Dalam melaksananakan investasi, sesungguhnya BPKH memiliki keleluasaan yang sangat terbuka lebar mengingat Undang-undang No. 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji memberikan kewenangan bagi BPKH untuk melakukan investasi langsung maupun investasi lainnya termasuk investasi di luar negeri dalam mata uang asing.

Sementara, cost hedging dapat dilakukan apabila BPKH mampu menjaga variabel-variabel yang mempengaruhi struktur biaya haji. Variabel-variabel tersebut yaitu: 1) Kebijakan fiskal (perpajakan) di Arab Saudi, 2) volatilitas nilai tukar (kurs), 3) Tingkat inflasi di Arab Saudi dan Indonesia, 4) Regulasi/kebijakan social distancing yang berdampak pada struktur biaya, 5) Biaya-biaya lain terkait dengan protokol kesehatan seperti vaksin, tes PCR maupun keharusan karantina.

Kelima variabel di atas dapat  diantisipasi oleh BPKH jika BPKH telah melakukan investasi pada fasilitas atau infrastruktur atau instrumen yang berkaitan langsung dengan ibadah haji, sehingga perubahan pada biaya tersebut tidak sepenuhnya menjadi beban bagi BPKH namun dapat dinikmati juga sebagai benefit yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh Jemaah haji.

Opini dari penulis, dengan mengasumsikan BPKH melakukan investasi di perhajian sebesar Rp30 triliun atau sebesar ±15% dari total kelolaan dana keuangan haji (baca: Asset Under Management/AUM) yang diproyeksikan dalam 5 tahun mendatang meningkat menjadi Rp200 triliun. Maka BPKH sudah dapat memiliki investasi startegis kedalam beberapa sektor usaha seperti akomodasi (hotel) sebanyak ±18.075 kamar hotel, transportasi darat sebanyak ±650 bus, kontrak long term untuk 2 pesawat Boing 737-800, layanan jasa makanan berupa pabrik catering dengan kapasitas 20 juta pack per tahun, rumah sakit dengan dalam bentuk equity sebesar 30,75% dengan kapasitas 200 beds, infrastruktur lainnya berupa investasi tanah dan bangunan di Arab Saudi, pembiayaan atau long lease hotel sebanyak 10.563 kamar dan investasi langsung lainnya terkait perhajian di Arab Saudi. 

Dari komposisi investasi tersebut BPKH dapat berpotensi memperoleh benefit langsung berupa nilai manfaat dalam bentuk valuta asing dengan return on investment ±10% sampai dengan 18% per tahun, serta juga memberikan benefit langsung dalam bentuk efisiensi atas biaya riil haji (besaran efisiensi dapat mencapai antara 2% sampai dengan 5% dari BPIH), branding BPKH atau merah putih di Arab Saudi dan peningkatan kualitas layanan haji dan umroh.

Selain benefit langsung tersebut, investasi pada beberapa sektor usaha terkait perhajian di Arab Saudi juga akan memberikan benefit tidak langsung bagi kepentingan Indonesia diantaranya adalah pembukaan lapangan kerja WNI di Arab Saudi  kurang lebih sebesar 1.230 tenaga kerja, peningkatan ekspor Indonesia ke Arab Saudi dari kebutuhan investasi BPKH di Arab Saudi dan capital inflow yang dapat dikembalikan ke Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan antara Indonesia dengan Arab Saudi selalu mengalami defisit, misalnya di tahun 2020 nilai ekspor Indonesia ke Arab Saudi adalah USD1,3 miliar sedangkan impor Indonesia dari Arab Saudi adalah USD2,6 miliar atau neraca perdagangan Indonesia dengan Arab Saudi defisit sebesar USD1,3 miliar. Jika Indonesia melalui BPKH mampu melakukan investasi di sektor terkait perhajian dan umroh tersebut, maka diyakini dalam beberapa tahun mendatang komposisi neraca perdagangan akan membaik dan diharapkan menjadi surplus.

Benefit tidak langsung lainnya dari investasi perhajian di Arab Saudi tersebut juga dapat dirasakan manfaatnya bagi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) dan jamaah haji atau umroh Indonesia. KBIHU dapat memperoleh akses pelayanan penyelenggaraan umroh dengan harga yang lebih efisien sedangkan jamaah haji atau umroh juga dapat memperoleh pelayanan yang lebih baik dari beberapa jasa dan produk terkait penyeleggaraan haji dan umroh.

Investasi perhajian di Arab Saudi juga dapat berdampak pada peningkatan kebutuhan pembiayaan di dalam negeri untuk para UMKM atau eksportir semisal untuk pembiayaan ekspor bahan baku layanan jasa makanan, pengadaan bus, souvenir, perlengkapan ibadah haji/umroh dan perlengkapan kebutuhan  akomodasi hotel.

Investasi perhajian di Arab Saudi juga dapat mengembalikan devisa negara atau penyelamatan devisa negara. Selama ini dengan rata-rata jumlah jamaah umroh Indonesia adalah 1 juta per tahun dan jamaah haji adalah 210 ribu pertahun. Maka dalam setiap tahunnya terjadi pengeluaran devisa yang mengalir ke Arab Saudi sebesar USD3,3 miliar. Jika tidak dimilikinya investasi terkait perhajian atau umroh di Arab Saudi maka aliran devisa keluar tersebut tidak ada yang mampu dikembalikan ke Indonesia. Sehingga menurut penulis, dengan adanya investasi perhajian di Arab Saudi cukup sebesar Rp30 triliun saja, diperkirakan BPKH mampu menguasai sekitar 34% dari faktor biaya atas kebutuhan biaya haji dan umroh sehingga secara tidak langsung devisa yang dapat dikembalikan ke Indonesia disetiap tahunnya dapat mencapai sekitar USD1,3 miliar.

Investasi BPKH di perhajian akan mampu menciptakan ekosistem perhajian yang saling mendukung untuk memperkuat keuangan haji, perekonomian umat dan peningkatan pelayanan umroh dan haji untuk jamaah Indonesia. Ekosistem perhajian tersebut juga dapat dikuatkan dengan menciptakan sistem pembayaran berbasis keuangan Syariah dari dalam negeri, dalam mata uang rupiah dan juga memberikan akses pelayanan perbankan Syariah nasional untuk membuka jaringan layanan di Arab Saudi.

Dengan demikian, didasarkan asumsi alokasi investasi perhajian yang dilakukan oleh BPKH hanya sebesar 15% dari total kelolaan dana (AUM) yakni sebesar Rp30 triliun, maka setiap tahun akan memberikan nilai manfaat langsung dengan ROI sebesar ±10% dalam currency USD atau SAR, efisiensi atas BPIH, benefit tidak langsung lainnya dari aktivitas investasi baik dari kegiatan ekonomi di Arab Saudi atau di Indonesia dan devisa yang dapat dikembalikan ke Indonesia (capital inflow).

Untuk itu sangat penting BPKH untuk berani melakukan investasi terkait perhajian di Arab Saudi dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip investasi seperti harus sesuai Syariah, aman dan kehati-hatian, likuiditas dan kemanfaatan nilai ekonomis maupun non ekonomis. Nilai strategis investasi terkait perhajian di Arab Saudi diyakini juga mampu menjaga sustainability keuangan haji dalam jangka panjang, dengan demikian peran akan keberadaan BPKH sebagai lembaga negara yang dibentuk pemerintah akan jauh dan mampu memberikan nilai manfaat yang optimal bagi jamaah dan seluruh umat Islam Indonesia.