Kutuk Kejahatan Seksual pada Anak, HNW: Hukum Berat Pelaku! 

MUS • Wednesday, 5 Jan 2022 - 23:29 WIB

Jakarta - Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengutuk dan menyesalkan masih terus terjadinya kejahatan seksual terhadap anak pada berbagai lembaga Pendidikan di sejumlah daerah di Indonesia.

Hidayat juga mendesak agar aparat penegak hukum untuk mengedepankan perspektif korban, dengan melindungi korban, dan dengan menghukum dengan sanksi terberat kepada para predator kejahatan seksual terhadap anak-anak.

“Saya mendukung agar Pasal 81 ayat (1) jo Pasal 76 huruf d UU Perlindungan yang mencantumkan hukuman mati bagi kejahatan seksual terhadap anak dapat segera diterapkan, atau hukuman seumur hidup atau 20 tahun dengan pemberatan, agar memberikan rasa terlindungi untuk para korban/anak-anak, dan membuat efek jera, sehingga pihak lain tidak melakukan kejahatan hal yang sama,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (04/01/2021).

HNW mengutuk kejahatan seksual kembali terjadi di lingkungan pendidikan baik di sekolah umum seperti di Medan, maupun pondok pesantren seperti di Ogan Komering Ulu (OKU), Provinsi Sumatera Selatan.

”Seharusnya aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman terberat, dan perlindungan terbaik bagi anak didik dan para korban. Tapi semuanya harus dilakukan sesuai aturan hukum, dan memenuhi prinsip keadilan hukum,” tuturnya.

Meski begitu, HNW juga berharap bahwa darurat kejahatan seksual terhadap anak yang sudah menjadi momok bagi anak-anak dan orangtua di Indonesia, tidak dijadikan framing negatif dan generalisasi terhadap institusi pendidikan tertentu seperti Pesantren.

“Karena masalah ini juga terjadi diberbagai lembaga pendidikan di Indonesia, baik yang pendidikan umum, maupun lembaga pendidikan agama non Islam,” ujarnya.

HNW memaparkan berdasarkan data dari KPAI, anak-anak yang menjadi korban terbanyak kejahatan seksual adalah anak2 dari usia sekolah dasar (sekolah umum), bukan pondok pesantren.

“Selain itu, dibeberapa kasus juga terjadi di sekolah agama lain non-Islam, seperti di Medan yang dilakukan pendeta sekaligus kepala sekolah,” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW mengutip laporan KPAI yang mencatat bahwa 88% pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah guru, dimana 40% adalah guru olahraga, 13% guru agama, dan sisanya adalah guru kesenian, guru komputer, guru IPS, guru bahasa Indonesia dan lainnya.

“Ini data yang jelas sangat mengkhawatirkan. Dan tidak sesuai dengan framing terhadap Pesantren dan Guru Pesantren,” tukasnya.

HNW mengatakan bahwa selain upaya represif dengan memberikan sanksi yang berat sebagaimana yang sudah tersedia di UU Perlindungan Anak, perlu juga dihadirkan upaya-upaya preventif agar kejadian tidak berulang.

“Misalnya agar pihak sekolah/pesantren menyediakan CCTV di kawasan yang sepi atau tersembunyi di area sekolah. Atau menciptakan aturan internal agar pertemuan murid/santri dengan guru tidak dilakukan di tempat tertutup, sepi, melainkan di ruangan terbuka dan melibatkan lebih dari 1 siswa atau santri,” tukasnya.

Selain itu, HNW juga berharap agar pemerintah dan DPR segera menguatkan institusi Keluarga agar keluarga berperan secara maksimal dalam melindungi anak-anak.

“Ini agar keluarga juga difasilitasi untuk berperan lebih aktif dalam melindungi anak-anak, misalnya agar Keluarga menghadirkan relasi yang harmonis dan komunikatif antara orangtua dan anak-anak, orangtua ajarkan kepada anak terkait keharusan menjaga kehormatan diri serta keberanian menolak atau melaporkan bila akan terjadi kejahatan seksual. Agar bisa dihindari dan diatasi. Agar lingkaran setan darurat kejahatan seksual terhadap anak ini bisa segera diputus mata rantainya. Dan anak-anak terlindungi, sehingga masa depan anak-anak dan negara terselamatkan,” pungkasnya.