Ini Modus Mafia Tanah Ambil Harta Orang

ANP • Sunday, 2 Jan 2022 - 17:56 WIB

MALANG - Dilelangnya sejumlah rumah, ruko dan bangunan milik dua dokter kakak beradik, dr Gina Gratiana dan dr Gladys Adipranoto di Jl Pahlawan Trip Blok B 6, B 7, dan B 27, Oro-oro Dowo, Klojen, Kota Malang serta beberapa ruko dan bangunan milik Dr FM Valentina diduga sarat dengan praktik mafia peradilan dan mafia tanah.

Indikasi ini terlihat dari pelaksanaan amar putusan Peninjauan Kembali (PK) No 598 Tahun 2016 sangat-sangat dipaksakan. Salah satunya, putusan menghukum untuk membagi harta bersama selama perkawinan (marital beslag) dibelokkan menjadi sita jaminan (conservatoir beslag).

Indikasi ini juga diperkuat dengan munculnya pemblokiran sertifikat milik keluarga dokter tersebut ke kantor BPN Kota Malang sejak 5 September 2013 silam oleh pihak lain tanpa sepengetahuan mereka.

Hal ini diungkapkan Gladys Adipranoto dan Gina Gratiana yang mendapatkan surat pemblokiran dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 1 Desember 2021 dan baru diterima pada 1 Januari 2022. Diketahui dalam surat pemberitahuan blokir itu atas permohonan HYA qq LM.

“Ini sudah pasti peran mafia tanah dan mafia peradilan. Punya duit berapa orang ini bisa sampai jadi putusan PK sedemikian rupa dan memblokir sertifikat milik orang lain ke BPN,” ungkap Malik Mahardika, Kepala Biro Hukum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Jawa Timur, Minggu (2/1/2022).

Bukan tanpa sebab ia mengendus adanya mafia peradilan dan mafia tanah di balik sengketa harta gono-gini tersebut. Menurut Malik, aroma busuk mafia peradilan dan mafia tanah ini sangat menyengat. Para mafia menggunakan berbagai macam instrumen dalam melancarkan aksinya.

“Tapi yang jelas menggunakan alat hukum dan alat negara untuk melancarkan modus kejahatan mereka,” ujarnya.

Malik mengatakan, seharusnya proses sita marital dari putusan tersebut pelaksanaannya dengan cara mengamankan aset atau harta bersama dari gangguan pihak ketiga.

Tapi kemudian para mafia ini menggunakan instrumen negara, yang kemudian menjadikan sita jaminan.

Malik menyoroti dua putusan antara Putusan Kasasi 503 Tahun 2015 dan putusan Peninjauan Kembali (PK) No 598 Tahun 2016 yang merupakan dua produk hukum dari proses perdata kedua pihak antara kuasa almarhum Hardi Sutanto beserta anak dan istri lainnya melawan FM Valentina dan dua dokter anak kandungnya.

“Antara PK dan kasasi ini saling bertentangan. Dalam PK ini copy paste pengadilan tingkat pertama. Tidak ada bukti baru (novum),” ucapnya.

Menurutnya, dalam Kasasi 503 ketika klausul putusan batal demi hukum, maka status hukumnya tak ada alias tidak ada perkaranya.

“Artinya tidak bisa diadili lagi dalam Peninjauan Kembali (PK). Teori hukumnya, kalau membatalkan putusan beda lagi, mengadili diri sendiri. Harusnya menyidangkan ulang terkait perkara di Pengadilan Negeri Tuban (tempat perkara ini berasal). Bukan mengadili sesuai amar dari Pengadilan Negeri Tuban,” jelasnya.

Malik menegaskan bahwa putusan PK 598 itu nggak nyambung dengan kasasinya. Tidak ada bukti baru, baik dari putusan pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi.

“Jadi PK No 598 ini cacat hukum. Sarat dengan konspirasi mafia hukum,” tegasnya lagi.

Malik melihat bahwa salah satu diktum dalam putusan PK itu adalah membatalkan perjanjian perkawinan kedua pihak. “Dengan batalnya perjanjian nikah, sudah nggak ada marital beslag nya seharusnya seperti itu,” tuturnya.

Malik, menegaskan perjanjian nikah itu merupakan akta otentik. Jadi ketika dibatalkan akan menjadi aneh.

“Posisi akta otentik, seseorang ini membuat perjanjian sudah sah mengikat. Kok bisa pengadilan membatalkan akta otentik? Logikanya, perikatan itu kan di notaris. Kalau kemudian dibatalkan, harus dipertanyakan status pejabatnya sah mengikat atau perjanjiannya. Jadi masih bisa ada potensi gugatan. Kalau perikatannya tipu muslihat, baru itu bisa dibatalkan. pertanyaannya ini berdasarkan apa?” terangnya.

Malik juga mempertanyakan posisi pejabat pembuat akta perjanjian nikah tersebut. Kalau ini berdasarkan jabatannya membuatkan akta kedua belah pihak ini dengan sukarela membuat mengikatkan diri, kemudian ketika ada masalah salah satu pihak membatalkan putusan tersebut profesi notaris tersebut patut dipertanyakan.

“Profesi pembuat akta secara otentik ini sah legal atau tidak,” tanyanya.

Malik menegaskan bahwa perjanjian perkawinan itu dibuat sebelum adanya perkawinan.

“Kalau perjanjian ini dibuat setelah perkawinan, ya ngapain ada perjanjian perkawinan. Kan nggak ada, nggak bisa. Perjanjian perkawinan itu dilakukan sebelum adanya perkawinan. Entah itu dicatat atau tidak, keduanya ini telah mengikatkan diri dalam sebuah bentuk perjanjian pisah harta,” terangnya.

Dengan demikian, perjanjian kawin itu sah meskipun itu enggak dicatat secara terpisah-pisah.

“Pertanyaannya satu, bahwa perjanjian perkawinan batal demi hukum, katakanlah atau membatalkan perjanjian perkawinan yang berarti posisinya, mempertanyakan status notarisnya,” sambungnya.

“Kalau perjanjiannya ini tidak, katakanlah bahwa menyatakan perjanjian perkawinan antara antara kedua belah pihak ini sah. Kedua, menyatakan bahwa karena perjanjian perkawinan ini tidak tercatat, tidak dicatatkan, maka tidak masuk di dalam klausul perjanjian perkawinan itu, baru logika yang betul,” paparnya.

Lebih lanjut Malik mengatakan, bila berkonsentrasi pada PK terseut, itu posisinya marital beslag. Sita itu ada tiga. Sita jaminan, sita marital, sita revindikasi. “Itu posisinya mempunyai eksekusi sendiri-sendiri. Dicampur dengan sita jaminan, ya tidak bisa,” tegasnya.

Malik mempertanyakan kalau kemudian sita marital dalam putusan PK 598 2016 ini kemudian menjadi sita jaminan, pertanyaannya di mana putusannya. “Di situ kan nggak ada,” katanya.

Seharusnya, lanjut Malik, kalau sita marital itu bentuk eksekusinya dalam bentuk permohonan volunter. Gugatan permohonan yang posisinya ini meletakkan sita marital. Dengan demikian, berarti Vallentina atau dokter Hardi itu mengajukan permohonan untuk pembagian sita marital.

“Baru kemudian PN Tuban yang posisinya mengeluarkan penetapannya sita marital. penetapan itu adalah sebagai dasar untuk proses eksekusinya. Nah pertanyaannya, ini sita marital sudah ada penetapan nya belum? Harus ada. Harus keluar itu marital beslagnya, nomor-nomor penetapannya sesuai marital beslag, bukan conservatoir beslag,” terangnya.

Antara sita marital kemudian bergeser eksekusinya ke sita jaminan rumah milik dokter Gina dan Gladys yang merupakan hasil beli sendiri, Malik menegaskan tidak ada kaitanya.


Menurutnya, kalau marital beslag, ya marital beslag saja. “Nyatanya, setelah eksekusi pertanyaannya eksekusi ini apa sita jaminan? Jaminan pengertiannya apa? Kayak pengertian gini, sita jaminan ini seolah-olah Valentina punya utang kepada almarhum Hardi. Nggak mungkin kan, suami istri mempunyai utang piutang kemudian diletakkan sita jaminan. Harusnya ya sita marital,” tandasnya.

Proses Janggal
Kejanggalan dalam putusan PK 598 juga diungkapkan praktisi hukum Peradi, Hermansyah Dulaimi.Menurutnya, pertama di PN tuban (tempat perkara berasal) tidak satu putusan yang memerintahkan untuk dilelang. Kedua, tidak ada penetapan PN Tuban yang mendelegasikan ke PN Malang untuk melelang barang-barang harta benda keduanya. Ketiga, barang-barang yang tidak ada kaitannya dalam perkara dilelang alias barang orang lain.

Kalau mendalilkan harta gono gini, lanjut Sekjen Peradi ini, okelah ini harta gono gini. Yang dimaksud dengan harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Sementara harta bawaan, harta warisan dan harta hibah tidak termasuk dalam harta gono gini. Kalau harta anak-anaknya Valentina itu kan bukan bagian harta gono gini. Tapi harta memang milik anak mereka, jelas bukan gono gini.

“Apalagi mereka punya perjanjian nikah. Sudah menjadi undang-undang. Tidak ada yang bisa membatalkan perjanjian nikah tersebut. Apalagi sudah ada dalam PK 598, ini kelihatan sekali mafia peradilannya. Ini permainan,” terangnya.

Tak hanya itu, lanjut Hermansyah, barang-barang yang untuk disita juga tidak ada. “Dalam delegasi kan jelas, misalnya ada daftar barang-barangnya jelas ada dalam daftarnya,” tuturnya.

Menjurut Hermansyah, bukan adanya salah tafsir dari PK tersebut, tapi tidak adanya perintah lelang dari PN Tuban ke PN Malang itu. “Jadi PN Malang itu sudah melebihi delegasi yang diminta PN Tuban,” ucapnya.

Hermansyah menegaskan bahwa dalam pokok perkara itu harus jelas obyek yang diminta. “Makanya tidak ada eksekusi dalam putusan. Kok malah bisa nambah-nambah (harta yang dieksekusi), itu tidak masuk akal,” katanya.

Kemudian, lanjutnya, dalam proses hukum itu ada permohonannya. Termasuk ada penetapan dulu. Yakni, harta gono gini itu apa saja. Tapi ini kan tidak ada.

Dalam permohonan lelang itu ada nama Luciana Tanoyo dan Hendri Irawan sebagai ahli waris, Hermansyah mengatakan, kalau pun mereka berdua sebagai ahli waris sudah seharusanya ada penetapan lebih dahulu. Tapi ini tidak ada gugatan dan penetapan dari ahli waris pemohon.

Soal pemohon itu sudah meninggal, Hermansyah tak menampik bisa diwariskan pada pewarisnya. Kecuali tindak pidana. Ahli waris itu bisa menerima hak dan kewajiban.

“Tapi harus jelas dulu, tapi bukan harta bersama bisa dimasukan juga. Kalau pun itu harta bersama, kenapa ibu ini tidak dibagi hasil penjualannya. Tidak ada konsyinyasi, tidak ada pemberitahuan konsinyasi. tidak ada kesepakatan harga pula,” terangnya.

Dalam amar putusan PK 598 pun, lanjutnya, tidak disebutkan harta-harta mana saja yang menjadi gono gini selama perkawinan. Justru malah bisa menambah-nambah. “Ini terlibat semua, kantor lelang terlibat. untuk melelang kan sita jaminan. Barang ini tidak disita, bukan jaminan. tidak ada disita di bank,” tegasnya.

Akar Masalah
Sementara itu, Ketua Peradi Malang Raya, Dian Aminudin menegaskan bahwa akar permasalahan dari kasus yang menimpa FM Valentina adalah putusan Peninjauan Kembali PK 598 Tahun 2016 yang logikanya melompat. Katakanlah bahwa ada pencatatan yang keliru. “Tapi yang salah siapa? yang salah ya Disdukcapil. Kenapa kesalahan pencatatan sipil itu yang salah Valentina. yang begini nggak adil,” katanya.

Kedua, lanjutnya, pencatatanan itu dalam rangka memenuhi asas publisitas. Agar pemisahan harta itu juga mengikat pihak ketiga dengan pihak suami istri yang membuat pemisahan harta itu.

“Katakanlah pencatatan itu dinyatakan tidak sah, bukan berarti kemudian perjanjian pemisahan harta ini batal, nggak benar itu,” tegasnya.

Menurutnya, dengan adanya pemisahan harta, perjanjiannya tetap sah. “Tidak dapat dibatalkan seperti itu, kalau yang menjadi dasar tidak sahnya pencatatannya, ini dua hal yang berbeda. Batalnya pencatatan tidak otomatis membatalkan perjanjian nikah. Bahkan perjanjian itu mengikat para pihak,” ucapnya.

Bukan hanya pelaksanaan di pengadilan tingkat pertama di PN Tuban dan PN Malang yang tidak sah, menurut Dian, PK 598-nya juga bermasalah. “Terlepas upaya hukum ini luar biasa, sangat luar biasa, sangat luar biasa sama sekali, kalau salah ya salah,” tegasnya.

Pernyataan Pengadilan
Humas Pengadilan Negeri (PN) Malang, Juanto membenarkan kalau pihaknya sudah menjual rumah milik dua dokter Gladys dan Gina melalui balai lelang negara KPKNL. Meski demikian, hingga hari ini belum ada rencana eksekusi yang sudah terlelang.

“Belum ada permohonan,” ujarnya saat dikonfirmasi via WhatsApp, Jumat (31/12/2021).

Meski demikian, Juanto menjelaskan kalau proses lelangnya sudah berjalan. Proses selanjutnya adalah karena obyek lelang belum kosong, maka pemenang lelang bisa memohonkan eksekusi pengosongannya. Kemudian, berdasarkan risalah lelang, baru lelang bisa diterbitkan sertifikat,

“Walaupun sertifikat belum jadi, jika permohonan sudah masuk berarti sudah bisa dilakukan eksekusi,” singkatnya.

Sementara itu, Humas Pengadilan Pengadilan Negeri Tuban Uzan Purwadi didampingi Panitera Sekhroni saat ditemui pada Selasa (28/12/2021) membenarkan kalau eksekusi sita marital itu memang didelegasikan ke PN Malang. Dia menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa mencabut delegasi tersebut.

“Sampai ada bendera putih dari PN Malang. Kalau PN Malang mengatakan sudah tidak bisa dan ada surat tidak bisa dieksekusi, baru delegasi bisa dibatalkan,” terang Uzan.

Uzan menjelaskan, ketika ada masalah dan obyek tidak bisa dieksekusi, pertama biasanya terkait bahwa tanah tersebut milik pihak ketiga dan sertifikat kepemilikan tersebut betul adanya dari BPN. Kalau kemudian beralihnya sertifikat itu setelah adanya putusan, maka itu haknya PTUN untuk menggugat BPN.

“Yang penting kalau pengadilan secara normatif adanya sah. Kedua, obyek itu sudah menjadi milik negara. Ketiga obyeknya sudah berubah karena bencana. Kemudian batas-batas tanah itu sudah tidak jelas,” terangnya.

“Misalnya, obyek itu ruko dan dan tanah. Sertifikat itu milik siapa? kalau sudah milik aku, ya aku yang melakukan perlawanan itu namanya (deer deen verzet),” terangnya.

Disinggung soal putusan PK 598 Tahun 2016 yang didelegasikan PN tuban ke PN Malang dikatakan Valentina itu non eksekutabel, Uzan menyatakan bahwa ini bukan persoalan eksekutabel atau non eksekutabel pada ranah sudah diputus.

“Bisa dinyatakan demikian saat mau dieksekusi, di lapangan itu akan terlihat bisa dieksekusi atau tidak. Bahwa tanah itu harus diserahkan pada penggugat, setelah dicek ke lapangan tanahnya ternyata nggak ada, itu baru namanya non eksekutabel,” terangnya.

Soal adanya perdebatan sita marital, Uzan menuturkan, ketika penggugat menunjukkan adanya sertifikatnya. “Tapi setelah ditunjukkan ke sana, kami tim melakukan penelusuran ke sana benar adanya sertifikat kepemilikan itu, ya nggak bisa dieksekusi,” tambahnya.

Uzan juga menegaskan bahwa marital itu kaitannya masalah akibat persoalan perkawinan dan efek perceraian. Kemudian diputus hartanya dibagi dua.

“Harta bawaan, harta gono gini, harta gameenschap (harta gabungan), harta hadiah. Harta gamenschap, harta yang diperoleh setelah perkawinan. kalau harta dari orangtua, tunjukkan buktinya. Kalau hadiah tunjukkan buktinya. Jadi tidak bisa dibagi,” paparnya.

Diungkapkan Uzan, sita itu dibagi menjadi sita marital, sita eksekusi, sita jaminan dan sita persamaan. Dalam kasus ini (PK 598) sita marital, conservatoir beslag itu sita jaminan, eksecutorial beslag itu sita eksekusi. Ini sudah putus, maka sitanya eksekusi, kemudian proses sita, sita marital terhadap benda-benda hasil perkawinan. Karena rumah takut dijual maka, dilaksanakan sita marital, bukan sita jaminan,” tegasnya. (ANP)