HNW Desak Solusi Berkeadilan Terkait Pelayanan Karantina PMI bagi WNI dari Luar Negeri

MUS • Thursday, 23 Dec 2021 - 09:22 WIB

Jakarta - Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid prihatin dengan terjadinya masalah pelayanan karantina bagi Warga Negara Indonesia yang datang dari Luar Negeri, apalagi bagi PMI yang sering disebut sebagai Pahlawan Devisa, sementara ada pihak-pihak yang justru seperti mendapatkan fasilitas untuk tidak harus dikarantinakan, sementara mereka juga potensial membawa virus covid-19 varian Omicron.

HNW sapaan akrabnya menjelaskan, banyak keluhan dari warga yang menilai Pemerintah tidak berlaku adil dan tidak siap dalam melaksanakan teknis pengarantinaan bagi warga dari Luar Negeri yang akan masuk ke Indonesia.

Hal yang terakhir itu, imbuhnya, menyebabkan timbulnya antrean panjang dan lama dengan masa tunggu 8-9 jam di Bandara hingga bisa masuk ke fasilitas karantina yang disediakan oleh Pemerintah. Termasuk kasus terbaru yang menjadi perhatian publik di mana banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang pulang ke tanah air harus terlantar sampai 15 jam di Bandara Soetta, Tangerang, sebelum akhirnya bisa ditempatkan di lokasi karantina (18/12/2021).

“Saya sepakat bahwa diperlukan kehati-hatian ekstra untuk mencegah terjadinya penyebaran pandemi covid-19 khususnya varian omicron, yang bisa berasal dari siapa pun yang masuk ke Indonesia, sehingga diperlukan karantina. Namun kebijakan karantina dari luar negeri tersebut harus diberlakukan dengan manusiawi dan adil, dan dikaji secara lebih operasional,” ujar Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (21/12/2021).

HNW mengaku sulit membayangkan, misalnya, operasionalisasi rencana Pemerintah agar PMI bukan hanya turun di Bandara Soetta, melainkan juga di Bandara Juanda, karena penerbangan internasional yang membawa PMI pada umumnya mendarat di Soetta dan bukan di Juanda.

“Sehingga yang diperlukan adalah persiapan yang lebih baik, petugas yang lebih terampil, dan tempat-tempat untuk karantina yang lebih banyak di sekitar Bandara Soetta (Jakarta). Perlu juga pendekatan keadilan, untuk WNI yang kembali ke Indonesia setelah bisnis atau pelesiran tentu wajar bila dikenakan karantina berbayar, tapi bagi WNI yang pulang ke Indonesia sebagai PMI, Pelajar/Mahasiswa yang akan banyak pulang ke Indonesia pada akhir Tahun, Utusan Negara untuk olahraga, pulang dari hadiri undangan seminar, pulang dari perjalanan spiritual (ibadah umrah, ziarah ke betlehem dan lainnya), mereka harusnya tidak dikenakan pembiayaan untuk karantinanya, alias negara memberikan fasilitas karantina gratis,” pungkasnya.

Untuk para Pejabat Negara maupun Tamu-tamu VIP, kata HNW sebaiknya tetap diberlakukan beberapa ketentuan karantina secara adil dan proporsional dengan tetap memastikan bahwa mereka tidak menjadi faktor penyebaran pandemi covid-19 dengan varian barunya.

“Dan bila sebab dari terjadinya tragedi penumpukan atau terlunta-luntanya PMI dan lainnya kemarin karena faktor anggaran yang tidak memadai, maka perlu juga diberikan tambahan anggaran yang bisa dipertanggungjawabkan, agar tidak kembali menimbulkan penumpukan warga yang datang dari Luar Negeri, yang justru berpotensi menjadi klaster penyebaran virus covid-19 dengan varian lama maupun baru,” lanjutnya.

Hidayat yang merupakan Anggota DPR-RI Komisi VIII sebagai mitra BNPB ini menjelaskan, dalam rapat kerja terakhir Komisi VIII dengan BNPB (13/12), sudah disepakati agar Kepala BNPB menjelaskan secara ilmiah dan transparan kepada masyarakat terkait kebijakan karantina bagi WNI yang baru pulang dari luar negeri, termasuk besaran biayanya apabila melakukan karantina mandiri.

“Dan agar Negara tidak membiarkan terjadinya mafia perhotelan untuk pemberlakuan karantina yang sangat memberatkan para Warga Indonesia sepulang mereka dari LN. Kepastian hadirnya Negara dalam melindungi warganya juga sangat diperlukan agar tidak meresahkan dan membingungkan WNI yang akan pulang ke Indonesia, lantaran terjadinya kebijakan karantina yang bisa berubah tiba-tiba tanpa penjelasan yang memadai.

Misalnya dalam SE Satgas Covid-19 Nomor 23 Tahun 2021 yang dikeluarkan pada 29 November 2021, periode karantina adalah 7 hari, namun pada SE 25/2021 yang dikeluarkan 2 minggu kemudian (14 Desember 2021), kebijakan periode karantina berubah menjadi 10 hari”, papar HNW.

HNW mengapresiasi Kepala BNPB yang responsif terhadap masukan-masukan tersebut, dan berharap adanya realisasinya secara konkret di lapangan.

“Kepala BNPB sudah mendengar masukan dari kami anggota Komisi VIII DPR-RI terkait keharusan transparansi kebijakan karantina, mekanisme pelayanan kedatangan, kesiapan fasilitas karantina, karantina yang efektif mencegah penyebaran covid-19 juga tidak memberatkan Warga, dan prinsip perlindungan dan keadilan yang juga harus ditegakkan. Kami berharap implementasinya bisa segera terlihat di lapangan dengan tidak ada lagi penumpukan antrean PMI/WNI yang datang dari luar negeri, dan tidak terjadi lagi mafia terkait karantina dengan waktunya yang lama dan harganya yang mahal,” katanya.

Bahkan, kata HNW, agar para Mahasiswa atau pelajar, duta-duta bangsa dan Negara dalam berbagai event internasional, juga para PMI, bisa dipermudah dan diberikan fasilitas karantina gratis tapi berkualitas.

“Jangan sampai para PMI pahlawan devisa itu merasakan perlakuan diskriminatif dan tidak adil, ketika petugas justru sangat melayani, berlaku longgar dan tidak menyulitkan Tenaga Kerja Asing (TKA),” ujarnya.

Hidayat menilai, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih bisa mengalokasikan anggaran tambahan untuk meningkatkan kinerja di bidang pelayanan kekarantinaan tersebut. Pasalnya hingga akhir Oktober 2021, anggaran kesehatan baru terealisasi sebesar Rp 202 Triliun dari total outlook 2021 sebesar Rp 326,4 Triliun. Artinya masih tersedia alokasi anggaran kesehatan sekitar Rp 124 Triliun yang harus direalisasikan dalam kurun waktu dua bulan.

HNW mendorong agar sebagian anggaran tersebut dialokasikan kepada BNPB sebagai Satgas Covid-19, yang diperuntukkan untuk operasional fasilitas karantina pelaku perjalanan luar negeri, dengan meningkatkan kualitasnya dan menambahkan jumlah lokasinya.

“Misalnya, berdasarkan laporan BNPB ke Komisi VIII (3/6), untuk operasional Wisma Atlet selama 6 bulan dibutuhkan anggaran sekitar Rp 345 Miliar. Adapun untuk lokasi yang lebih kecil seperti Rusun Pasar Rumput tentu biaya operasionalnya juga lebih rendah,” ungkapnya.

HNW memprediksi pembukaan lokasi karantina secara masif di seluruh kota kedatangan WNI pelaku perjalanan luar negeri hanya akan membutuhkan biaya sekitar RP 1-2 Triliun.

“Alokasi anggaran kesehatan yang masih tersisa sangat besar untuk tahun 2021 jangan sampai dibiarkan tidak terealisasi. Mengingat semakin tingginya jumlah kepulangan WNI (PMI dan Pelajar/Mahasiswa) diakhir tahun atau akibat kondisi darurat di berbagai negara yang diserang varian Omicron. Maka pengadaan fasilitas karantina yang adil dan tidak membebani tersebut menjadi sangat penting agar mereka bisa pulang dengan aman, selamat, dan tidak menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Dan rakyat juga merasakan hadirnya negara yang melaksanakan kewajibannya untuk melindungi seluruh Rakyat Indonesia, termasuk PMI dan Pelajar/Mahasiswa dan lainnya yang pulang dari Luar Negeri,” pungkasnya.