The Matrix Resurrection: Nostalgia yang Belum Sempurna

MUS • Wednesday, 22 Dec 2021 - 17:10 WIB

Tahun 90-an boleh dibilang tempat lahirnya film dengan genre fiksi ilmiah revolusioner, yang berani menyajikan alur cerita yang kompleks. Sebut saja franchise ternama Independence Day dan Jurassic Park yang masih dilanjutkan hingga beberapa tahun belakangan lewat sequel ataupun reboot.

The Matrix (1999) jadi salah satu film legenda yang mampu menutup era 90an dengan jalan cerita yang revolusioner sekaligus filosofis. Bersama dengan The Matrix: Reloaded (2003) dan The Matrix: Revolutions (2003), sutradara Wachowski Brothers berhasil menciptakan trilogi fiksi ilmiah yang cukup menjanjikan pada masanya.

Setelah 18 tahun, fans The Matrix boleh merasa gembira dengan hadirnya sekuel keempat, yaitu The Matrix: Resurrections. 

Kali ini, para fans sejati akan bertanya-tanya seperti apa ujung dari kisah sang legenda, Neo (Keanu Reeves). Pasalnya, di film terakhir The Matrix tahun 2003, perang antara manusia dan mesin sudah berakhir, namun ada sedikit antiklimaks dari sisi pemeran utama yang tidak diketahui nasibnya hingga penghujung film.

The Matrix: Resurrections bercerita tentang upaya penyelamatan Neo oleh seorang hacker bernama Bugs (Jessica Henwick), yang berasal dari realitas di balik The Matrix. Ternyata selama ini Neo (Keanu Reeves) masih terjebak di dunia Thomas Anderson sebagai seorang programmer, seperti pada cerita The Matrix pertama.

Adegan dibuka dengan Trinity yang sedang berada di The Matrix dan melawan para polisi, persis seperti adegan di film pertama The Matrix. Namun, adegan tersebut merupakan sebuah model program yang terus berulang dan berbeda dengan jalan cerita aslinya. 

Morpheus (Yahya Abdul-Mateen II), muncul secara tiba-tiba bersama para agen, dengan gaya serupa Agen Smith. Dari sini penonton mulai bisa menikmati anomali khas The Matrix yang seringkali membuat heran, sebelum akhirnya bisa sampai pada sebuah penjelasan yang masuk akal.

The Matrix: Resurrection hadir dengan cerita yang lebih segar beradaptasi dengan perkembangan sineas pada masanya. Warner Bros bersama Sutradara Lana Wachowski yang kali ini bekerja sendiri tanpa bantuan saudaranya, Lily, menyajikan The Matrix dengan kesan yang lebih mudah diterima di masyarakat ketimbang film pendahulunya. Bahkan The Matrix kali ini jauh dari kata serius, malah cenderung humoris dan sarkastik.

The Matrix yang dikenal fans pada umumnya, memendam makna filosofis yang mendalam dalam setiap adegan dialog serius. Namun, hal ini tidak banyak terjadi di The Matrix: Resurrection. 

Kali ini, The Matrix lebih mudah dicerna dengan jalan cerita yang gampang ditebak. Bahkan, penonton tidak perlu pusing-pusing menghubungkan adegan satu dengan lainnya, untuk memahami cerita seutuhnya.

Reboot yang memakan produksi cukup lama karena pandemi covid-19 ini sangat memperhatikan para penggemarnya. Sangat banyak potongan adegan dari film The Matrix sebelumnya, yang digunakan sebagai pemanis dan penyambung jalan cerita. Namun hal ini malah memberikan kesan, Wachowski seakan terlena dengan fenomena The Matrix (1999) yang meledak dan banyak meraih pujian, khususnya dengan kehadiran Laurence Fishburne sebagai Morpheus. 

Sayang, Fishburne dalam wawancaranya menyebut dia tidak mendapatkan undangan untuk memerankan kembali Morpheus. Wachowski ternyata punya jalan cerita berbeda untuk seorang Morpheus. Menariknya, kapten Niobe (Jada Pinkett Smith) justru dapat peran yang cukup penting. Trinity (Carrie-Anne Moss) yang kali ini justru punya peran vital hampir di setengah film. 

Penonton akan dimanjakan kembali dengan kisah cinta Neo dan Trinity bahkan di level yang berbeda. The Matrix: Resurrection cukup menarik untuk ditonton bagi penggemar genre fiksi ilmiah. Namun, untuk para penggemar The Matrix mungkin tidak bisa berharap banyak, jika dibandingkan dengan film terbaik The Matrix tahun 1999 (TIO).