Uighur dan Pemboikotan Olimpiade Beijing

MUS • Tuesday, 21 Dec 2021 - 16:47 WIB

Oleh: Novi Basuki*

Olimpiade Musim Dingin di Beijing yang akan digelar pada 4 Februari 2022, diboikot Amerika Serikat (AS), Inggris, Australia, dan Kanada. Alasan pemboikotannya adalah karena empat negara tersebut menengarai pemerintah China telah melakukan pelanggaran HAM berupa genosida terhadap muslim Uighur di Xinjiang. Bila benar demikian, bagaimana menjelaskan data-data berikut?

Keterkaitan dengan CIA dan NED
Sandaran utama negara-negara yang menuding China melakukan genosida terhadap muslim Uighur ialah Uyghur Tribunal yang dihelat di Inggris belum lama ini. Pengadilan yang digagas Dolkun Isa, ketua World Uyghur Congress (WUC), sejak 2020 itu mendaku diri sebagai pengadilan yang independen.

Walakin, jika ditelaah lebih dalam, independensi Uyghur Tribunal agaknya masih layak dipertanyakan. Pasalnya, selama sekian tahun, WUC mendapatkan dana yang lumayan besar dari National Endowment for Democracy (NED). 

Mengutip laman NED (25/2/2021), pada 2020, NED menggelontorkan USD 400 ribu kepada WUC untuk “melakukan advokasi regional dan internasional tentang isu-isu Uighur.” Juga untuk dipakai “memonitor, mendokumentasikan, dan menyoroti pelanggaran HAM yang tengah terjadi di Turkistan Timur [Xinjiang].” 

Sejak 2016 hingga 2019, NED paling tidak telah menyuntikkan dana sebesar USD 1,284 juta kepada WUC. Ini belum termasuk yang diberikan kepada lembaga-lembaga diaspora Uighur lainnya semisal Uyghur Human Rights Project, Uyghur Refugee Relief Fund, Campaign for Uyghurs Incorporated, dll.

Kita tahu, NED merupakan lembaga yang diinisiasi pemerintah AS untuk mempromosikan demokrasi ke seluruh dunia. Tapi, alih-alih mempromosikan demokrasi, yang dipromosikan AS lewat NED itu lebih tepat disebut sebagai “polyarchy”, kata William I. Robinson, profesor sosiologi pada University of California. Yakni, proyek pendirian rezim neoliberal yang memungkinkan semakin terintegrasinya suatu negara ke dalam sistem kapitalisme global dan menyingkirkan yang berpotensi mengancam stabilitas dominasi AS (Pax Americaca) di dunia.

Dengan kata lain, negara demokratis menurut AS adalah negara yang pro-neoliberalisme sekaligus berpihak kepada kepentingan AS di manapun dan kapanpun. Yang tidak begini, tulis Robinson dalam makalahnya yang bertajuk Democracy or Polyarchy? (25/9/2007), akan dicap sebagai negara “bidʻah yang antidemokrasi” (antidemocratic heresy). 

Sekali AS melabeli suatu negara sebagai “bidʻah yang antidemokrasi”, maka AS tidak akan segan-segan melancarkan program destabilisasi untuk merongrong mereka dengan beragam dalih --termasuk dengan menggunakan isu pelanggaran HAM.

Robinson memerinci, ada setidaknya tiga tingkatan lembaga yang dipakai AS untuk mempromosikan “polyarchy”-nya. Pertama, yang paling tinggi, adalah alat negara seperti Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Pentagon, dan badan intelijen CIA. Kedua, agen pembangunan internasional AS (USAID) dan beberapa cabang Departemen Luar Negeri yang kemudian mengucurkan bejibun dananya kepada lembaga semacam NED. Ketiga, lembaga-lembaga AS, seperti NED, yang menyalurkan dananya kepada lembaga-lembaga yang bisa digunakan untuk mendiskreditkan negara yang sedang dibidik.

Dalam mengorkestrasikan isu Uighur, tiga level lembaga AS yang disebut Robinson itu terlihat kompak sekali memainkan perannya. Ambil contoh CIA. Pada Agustus 2018 silam, Lawrence Wilkerson, pensiunan kolonel Angkatan Darat yang notabene kepala staf Kantor Menteri Luar Negeri Amerika Colin Powell, pernah mengatakan, “CIA ingin menggoyahkan stabilitas China, dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menciptakan kekacauan di China. Kalau CIA bisa memanfaatkan orang-orang Uighur ini, dan bergabung dengan mereka untuk memprovokasi Beijing, maka itu bisa menggoyang China dari dalam, tanpa perlu menggunakan kekuatan dari luar.”

Kalaupun CIA tidak ikut-ikutan, dengan adanya NED --yang menjadi penyokong dana andal WUC itu-- sebenarnya sudah cukup untuk menjadi peran pengganti. Sebab, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Allen Weinstein, co-founder NED, kepada The Washington Post (22/9/1991), “Banyak hal yang dilakukan NED hari ini, dulu dilakukan oleh CIA secara sembunyi-sembunyi.” Dan, untuk menyukseskan misinya, “kita berbohong, kita curang, kita mencuri,” tegas Mike Pompeo, bekas menteri luar negeri AS era Trump yang sebelumnya menjadi direktur CIA.

Populasi Uighur Menaik
Kesimpulan Uyghur Tribunal bahwa telah terjadi genosida terhadap Uighur di Xinjiang utamanya didasarkan pada penelitian Adrian Zenz yang bekerja di Victim of Communism Memorial, lembaga yang punya andil besar dalam pengejawantahan kebijakan pembendungan (containment) AS terhadap Soviet semasa Perang Dingin.

Zenz menemukan, berdasar data-data kependudukan pemerintah Xinjiang yang ditelitinya, penduduk Uighur mengalami penurunan drastis sejak 2018. Penyebab penurunan itu, menurut Zenz, adalah kebijakan pengendalian kelahiran pemerintah China yang diterapkan secara terstruktur, masif, dan sistemis kepada Uighur sehingga bisa dikategorikan sebagai genosida.

Namun, agaknya Zenz terlalu hiperbolis. Sebab, tidak hanya minoritas Uighur, jumlah kelahiran Han sebagai suku mayoritas pun menurun lantaran pengetatan kebijakan KB (jihua shengyu) sejak 2017. Tetapi, dibandingkan dengan jumlah kelahiran Han, jumlah kelahiran Uighur tetap lebih tinggi. 

Pada 2018, misalnya, persentase kelahiran Uighur adalah 11,9‰, sedangkan Han cuma 9,42‰. Secara keseluruhan, total populasi Uighur di Xinjiang naik dari yang sekitar 8,346 juta pada 2000, ke 11,624 juta lebih pada 2020. Alias rata-rata naik 1,71% tiap tahunnya. Jauh lebih tinggi ketimbang populasi suku minoritas lain di seluruh China yang saban warsa hanya naik 0,83%.

Kalau begitu, laiknya independensi Uyghur Tribunal, penelitian Zenz yang dijadikan alat bukti untuk mendakwa China telah melakukan genosida terhadap Uighur juga patut dikritisi. Tapi akan runyam kalau para pendakwanya hendak mengamalkan apa yang disampaikan Xu Youzhen kepada kaisar dinasti Ming agar mengeksekusi Yu Qian, kawannya yang ia fitnah akan melakukan makar, ini: “Sekalipun buktinya tidak ada, tapi siapa tahu niatnya ada” (sui wu xian ji, yi you zhi).

Menyalahi Spirit Olimpiade
Terlepas dari itu semua, pemboikotan olimpiade yang diselenggarakan China tersebut bisa dibilang telah mengingkari apa yang oleh Pierre de Coubertin sebut sebagai “olimpisme” (olympism). Istilah yang kemudian tertuang dalam Piagam Olimpiade (Olympic Charter) ini, menjadi spirit fundamental penyelenggaraan olimpiade yang di antaranya berupa tidak adanya diskriminasi dalam bentuk apapun sebab olah raga juga merupakan hak asasi manusia. “The practice of sport is a human right.”

Tetapi, masih mengutip Piagam Olimpiade, untuk bisa berbuat begitu, “membutuhkan kesalingpahaman dengan spirit persahabatan, solidaritas, dan sportivitas.” 

Makanya, meminjam petuah Pram, sulit diterima akal kalau negara sekelas AS, Inggris, Australia, dan Kanada sebagai pembela HAM terdepan di dunia tidak bisa “berlaku adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.”

*Penulis buku “Islam di China: Dulu dan Kini” (Penerbit Buku Kompas, 2020)