Ini Tanggapan Pakar Hukum Pidana Terkait Kasus RJ Lino

ANP • Sunday, 19 Dec 2021 - 22:27 WIB

JAKARTA - "KPK keliru menafsirkan putusan PN Tipikor Jakarta Pusat. Karena parameternya vonis tetapi tidak memahami bahwa kunci yurisprudensi itu terletak pada pertimbangan putusan pengadilan (ratio decidendi) dan ratio decidendi putusan untuk RJ Lino membuktikan dissenting opinion 2 banding 1," ujar Pakar Hukum Pidana Romli Atmasasmita dalam keterangannya, Sabtu (18/12/2021). 

Menurut dia, putusan PN Tipikor Jakarta Pusat untuk RJ Lino tidak bulat sehingga rapuh untuk dilakukan upaya hukum selanjutnya. Terlebih disenting menyoal keraguan unsur kerugian keuangan negara. 

"Itu amat krusial karena unsur tersebut adalah salah satu unsur konstitutif ada tidaknya tipikor. Satu-satunya ukuran terbukti ada atau tidaknya unsur tersebut adalah wewenang mutlak BPK," paparnya.

BPK, kata Romli, merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang menentukan kerugian negara. Jika terdapat perhitungan dari lembaga lain selain BPK maka syarat mutlak hasil penelitian lembaga lain wajib di deklarasi oleh BPK.

"Jika tidak maka hasil penelitian lembaga lain dapat dibatalkan  (vernietegbaar). Dalam perkara RJ Lino, hal tersebut tidak dilakukan sama sekali," terangnya.

Pertimbangan hakim ketua yang mengadili RJ Lino, lanjut Romli, “bahwa kurang cermatnya jaksa dalam meghitung kerugian keuangan negara mencerminkan keragu- raguan Hakim Ketua termasuk memenuhi asas in dubio pro reo sehingga putusan seharusnya terdakwa dibebaskan”.

Ia juga mengatakan kasus yang menjerat RJ Lino penuh kontroversi. Pertama, karena yang bersangkutan berstatus tersangka  terkatung selama lima tahun tanpa penjelasan dan kepastian atas hak memperoleh perlindungan dan kepastian hukum. Sehingga yang bersangkutan  telah diperlakukan KPK secara tidak adil dan melanggar hak asasinya sebagai tersangka.

Kedua, “KPK tidak menerapkan Psl 40 UU n 19 thn 2019 perubahan UU no 40 thn 2002 tentang KPK yg mewajibkan KPK untuk membebaskan status tahanan tersangka yang  lebih dari dua tahun dengan  alasan bahwa frasa "dapat" dl Psl 40 seharusnya dimaknai suatu keharusan (bersifat imperatif) dihubungkan dengan latar belakang dan tujuan revisi UU kpk tahun 2002 dengan UU KPK 2019 serta sejalan dengan ketentuan Psl 5 huruf f dan bagian menimbang huruf b khusus terkait perlindungan HAM. KPK keliru memahami latar belakang filosofi, yuridis dan sosiologis dan HAM revisi UU KPK 2002” ungkapnya. (ANP)