Wakil Ketua MPR: Waspadai Politik Identitas Pasca Pandemi Covid 19

AKM • Thursday, 16 Dec 2021 - 11:36 WIB

Jakarta -  Mendekati tahun politik 2024 termasuk Pilpres, membuat tensi politik di Indonesia saat ini meningkat. Munculnya politiK Identitas menjadi perhatian banyak pihak yang dinilai bisa memecah peraatuan bangsa.

Wakil ketua MPR RI, Arsul Sani mengatakan semua  pihak perlu mewaspadai meningkatnya politik identitas pasca pandemi Covid-19. Pasalnya, Arsul menilai bahwa politik identitas saat ini melandai bukan karena kesadaran kebangsaan yang baik, namun karena hantaman pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh aspek kehidupan masyarakat. 

Hal tersebut disampaikan oleh Arsul saat menjadi narasumber dalam acara diskusi 4 Pilar MPR RI dengan tema "Refleksi Politik Kebangsaan Tahun 2021" di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/12/2021). 

"Kalau pandemi sudah surut maka yang perlu kita waspadai adalah naiknya politik identitas. Politik identitas (saat ini) agak turun karena pandemi Covid-19, bukan karena kesadaaran kebangsaan yang baik," kata Arsul. 

Untuk itu ia mengingatkan kepada para elit politik untuk tidak merespon dinamika yang terjadi pada tahun 2022 dengan meledak-ledak dan emosional. 

"Tahun 2022 nanti masuk tahun politik, biasanya tensi politik meningkat. Tentu pertama di dalam dan di luar lingkar kekuasaan (antara) partai koalisi dan di luar partai koalisi. Tugas para elit (adalah) untuk tidak merespon dinamika-dinamika tersebut dengan respon-respon yang sifatnya emosional," katanya. 

Selain itu, ia juga menyarankan kepada para pejabat publik untuk tidak mengeluarkan statement yang memicu kontroversi di tengah masyarakat.

"Jangan juga yang jadi pejabat mengeluarkan statemen yang potensi kontroverisalnya tinggi," imbuhnya. 

Dalam kesempatan tersebut, Arsul juga mengatakan bahwa dalam membangun politik kebangsaan yang baik, perlu belajar dari pengalaman pemilu 2014 dan 2019. Khususnya dalam hal terjadinya keterbelahan yang tajam akibat hanya ada dua pasangan calon yang beradu dalam kontestasi Pilpres. 

"Dalam menciptakan politik kebangsaan yang adem ya kita mesti belajar dari pengalaman berpilres tahun 2014 dan 2019. Di mana ketika hanya dua pasang calon maka politik identitas itu terbukti naik secara tajam," katanya.

Untuk itu ia mendong tampilnya lebih dari dua paslon capres dan cawapres pada pemilu 2024 mendatang. 

Meski demikian, Arsul tidak menampik asumsi bahwa pilpres dengan lebih dari dua paslon akan membuka peluang pilpres dua putaran yang berarti meningkatkan biaya pemilu. 

"Tentu ada yang berpendapat kalau lebih dari dua maka membuka kemungkinan pilpres dua putaran. Tapi mari kita hitung saja cost untuk menurunkan tensi politik, (bandingkan) dengan cost yang diperlukan untuk pilpres dua putaran. Ada social cost yang nggak bisa dinilai dengan uang," kata Arsul.