Harga Minyak Goreng Melambung, Wakil Ketua FPKS: Rakyat Berkabung

MUS • Thursday, 2 Dec 2021 - 09:32 WIB

Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ecky Awal Mucharam, menyoroti harga minyak goreng di pasaran yang jauh lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

“Minyak goreng mencapai Rp20.000 lebih per liter, sedangkan HET sebesar Rp11.000 per liter, Artinya harga riil hampir mencapai 200 persen dari HET. Dengan kata lain, HET yang ditetapkan pemerintah tersebut, tidak dapat menjadi pengendali kenaikan harga barang di pasaran,” ungkap Ecky.

‘’Kenaikan harga minyak goreng sebagai bahan pokok, akan berpengaruh terhadap harga dari jenis barang kebutuhan lain dan produk makanan turunannya,’’ lanjut Ecky.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Oktober 2021 indeks harga konsumen (IHK) mengalami inflasi sebesar 0,12 persen. Kenaikan harga minyak goreng menjadi salah satu penyebab inflasi. Minyak goreng memberikan andil inflasi 0,05 persen.

Lebih parahnya, harga minyak goreng saat ini masih diprediksi terus melonjak hingga kuartal I 2022. Kenaikan tersebut akibat menguatnya harga crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit dunia.

“Pemerintah harus mampu mengantisipasi kenaikan harga yang lebih fantastis lagi, khususnya menjelang awal tahun mendatang,” tegas Ecky.

Pada kondisi ini, kita kembali melihat bagaimana keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil.

Ecky menerangkan bahwa Indonesia telah menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak 2006. Data Index Mundi mencatat, pada 2019, produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun.

Produksi didukung oleh ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang seluas 16,381 juta hektare.

Ironinya, pada kenaikan harga ini, konglomerat pemilik perkebunan kelapa sawit sedang dibanjiri uang hasil ekspor sawit. Sedangkan dalam waktu bersamaan rakyat kecil ‘berkabung’ akibat kebutuhan pokok kian melambung, terlebih harga minyak goreng yang membumbung dan tak mampu dibendung.

‘’Pemerintah harus segera menyikapi dengan bijak situasi ketimpangan ini," papar Ecky.

“Bukan hanya kenaikan harga minyak goreng saat ini yang dikeluhkan masyarakat, minyak goreng juga sulit ditemui di warung-warung eceran. Indikasi adanya penimbunan minyak goreng sebgai akibat prediksi kenaikan harga yang masih berlanjut, makin memperburuk situasi," jelas Ecky.

Ecky menerangkan bahwa berdasarkan data sebenarnya pasokan minyak goreng di masyarakat saat ini relatif aman. Kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,06 juta ton per tahun, sedangkan produksinya bisa mencapai 8,02 juta ton. Hal yang perlu diperbaiki pada prakteknya adalah integrasi antara produsen minyak goreng dengan produsen CPO.

‘’Mestinya intervensi pemerintah terhadap harga minyak goreng dapat berjalan mudah, mengingat Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia," kata Ecky.

Ecky mendorong pemerintah segera meminta pengusaha minyak goreng untuk menerapkan kewajiban pasok domestik atau domestic market obligation (DMO).

‘’Dengan adanya DMO, produsen minyak goreng diwajibkan memproduksi minyak goreng kemasan sederhana untuk keperluan domestik, sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan lebih mudah dan murah," pungkas Ecky.