Indonesia-FAO Serukan Masyarakat Hati-hati Gunakan Antimikroba Demi Cegah Pandemi Tersembunyi

MUS • Wednesday, 24 Nov 2021 - 17:19 WIB

Jakarta - Resistensi antimikroba (AMR) akibat penggunaan antimikroba yang tidak tepat adalah ancaman yang cukup besar terhadap kesehatan global, keamanan pangan, ketahanan pangan, produksi tanaman dan ternak dan pembangunan ekonomi global. 

Sekitar 700.000 kematian setiap tahunnya berkaitan dengan AMR. Karena itu AMR juga sering disebut sebagai "pandemi tersembunyi" yang mengancam kesehatan hewan dan manusia secara global. 

AMR dapat membuat ekonomi global kehilangan hingga 6 triliun dolar AS per tahun pada tahun 2050, atau setara dengan hampir 4 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global. Hanya dalam sepuluh tahun, lebih dari 24 juta orang akan jatuh ke bawah garis kemiskinan akibat AMR, terutama mereka yang berada di negara berkembang. 

Meningkatnya kemiskinan tentu akan meningkatkan angka kelaparan dan kekurangan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa AMR dapat menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDG), khususnya tujuan kedua, yakni mewujudkan dunia tanpa kelaparan.

Fakta-fakta inilah yang disoroti pada acara puncak Pekan Kesadaran Antimikroba Sedunia yang berlangsung di Nusa Dua, Bali. Pekan ini diperingati sejak tanggal 18 November di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. 

AMR tengah melonjak pada tahap yang mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia, serta menghambat pengobatan penyakit infeksi menular - seperti pneumonia, tuberculosis, sepsis dan gonorea pada manusia. 

Demikian pula dengan penyakit infeksi pada hewan, khususnya ternak yang menjadi semakin sulit atau bahkan tidak mungkin untuk diobati, ketika antibiotik menjadi kurang efektif. 

Pada sektor pertanian dan peternakan hal ini tentu menyebabkan kerugian produksi, menghancurkan mata pencaharian dan mengancam ketahanan pangan. Lebih parahnya, AMR dapat menyebar melalui beragam inang serta melalui lingkungan, yang membuat mikroorganisme yang resistan terhadap antimikroba dapat mencemari rantai pangan. 

“Untuk sektor pertanian, peternakan dan kesehatan hewan, AMR menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan, selain tentunya mengancam pengembangan kesehatan hewan yang berkelanjutan. Dalam hal ini, sektor pertanian sendiri akan sulit untuk menahan ancaman sebesar ini. Untuk itu, kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk meningkatkan kapasitas sektor pertanian dalam mengelola risiko AMR dan membangun ketahanan terhadap dampak AMR,“ ungkap Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam sambutannya yang disampaikan secara virtual. 

Antimikroba memiliki peran penting dalam mengobati penyakit hewan penghasil pangan (baik darat maupun akuatik/perikanan), serta tanaman pangan, yang membantu menjamin ketahanan pangan. Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati hewan yang sakit, atau untuk mencegah penyakit menyebar luas dalam kawanan ternak, kandang maupun peternakan. 

Penggunaan antimikroba yang berlebihan dalam pangan dan pertanian menyimpan risiko bagi sistem pangan, mata pencaharian masyarakat dan perekonomian. Selain berdampak buruk secara langsung pada hewan ternak, penyakit hewan juga dapat secara signifikan mempengaruhi produksi pangan, ketahanan pangan dan mata pencaharian petani/peternak. Segala dampak ini dapat diperparah oleh AMR. 

“Penggunaan antimikroba yang tidak tepat di bidang pertanian dan peternakan berkontribusi pada penyebaran AMR dan mengurangi efektivitas obat hewan. Sangatlah penting untuk memastikan obat-obatan ini tetap efektif dan tersedia bagi sektor pertanian dan peternakan,” kata Rajendra Aryal, Kepala Perwakilan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Indonesia.

Banyak orang menganggap bahwa risiko paparan kuman yang resistan terhadap antimikroba hanya ada di rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Padahal dengan keberadaan mikroorganisme yangresistan terhadap antimikroba di dalam sistem pertanian. Hal ini mengakibatkan AMR ada dalam makanan yang kita konsumsi. Mikroorganisme yang resistan terhadap antimikroba dapat berkembang di dalam rantai pangan dan berpindah-pindah dari hewan, manusia dan lingkungan. AMR menjadi isu lintas sektor.

Angka perkiraan konsumsi antibiotik pada sistem pertanian global sangat beragam akibat buruknya surveilans dan pendataan di banyak negara. Angka ini berkisar antara 63 ribu hingga 240 ribu ton per tahun. Dari perkiraan tersebut, 75 hingga 90 persennya berasal dari kotoran hewan, karena antibiotic tidak terserap oleh tubuhnya, sehingga dikeluarkan kembali, mencemari saluran limbah dan sumber air. Lingkungan yang tercemar limbah dari produksi antibiotik dapat menjadi reservoir penting bagi resistensi antimikroba. 

Untuk mampu mengatasi AMR, sistem kesehatan global mengusung pendekatan “One Health” untuk mendorong praktek yang baik dalam mengurangi penyebaran mikroba yang resistan terhadap antibiotik pada manusia, hewan, tanaman maupun lingkungan. 

Rencana Aksi Nasional, selangkah ke depan

Di Indonesia, Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang AMR telah dikembangkan dan diimplementasikan oleh pemangku kepentingan lintas sektor, antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertahanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan berbagai lembaga pemerintahan lainnya.

Pemangku kepentingan ini juga mencakup Badan PBB yakni WHO dan FAO; serta Komite Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba; asosiasi, organisasi profesi; fasilitas pelayanan kesehatan (hewan, manusia dan perikanan); perguruan tinggi, swasta, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat umum dan masyarakat sipil. 

FAO telah bermitra dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian untuk memberikan dukungan teknis guna mencapai target-target RAN AMR di bidang peternakan dan sistem produksi pangan. 

AMR merupakan bidang kerja sama prioritas di bawah Agenda Ketahanan Kesehatan Global, yang diluncurkan pada 2014 oleh 44 negara dan lembaga internasional, dengan dukungan berbagai mitra, salah satunya Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) sebagai mitra utama. 

Atase Kesehatan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Pamela Foster mencatat bahwa ketahanan kesehatan merupakan salah satu bagian penting dari kemitraan AS dengan Indonesia yang telah terjalin selama lebih dari 70 tahun. 

Contohnya adalah sumbangan 16,9 juta vaksin kepada Indonesia atau acara hari ini tentang resistensi antimikroba. 

"Selama lebih dari 15 tahun, Pemerintah Amerika Serikat, melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) telah bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk memperkuat kapasitas Indonesia dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, dan baru-baru ini untuk mengatasi muncul dan menyebarnya AMR. Komitmen dan kepemimpinan Pemerintah Indonesia untuk menyebarluaskan kesadaran dan menghentikan resistensi antibiotik menggunakan pendekatan One Health sangat penting untuk menyelamatkan jiwa dan mencapai ketahanan kesehatan di kawasan ini,” katanya. 

Dengan demikian, sangatlah penting bagi setiap orang untuk berpikir ulang dan selalu meminta petunjuk petugas kesehatan sebelum membeli dan menggunakan antimikroba pada tanaman, hewan dan manusia. Tindakan melawan AMR akan mewujudkan sistem pertanian-pangan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. 

Antimikroba meliputi antibakteri atau antibiotik, antivirus, antijamur dan antiparasit. Namun di masyarakat nama antibiotik lebih dikenal, karena sering digunakan dalam pengobatan manusia. Antimikroba merupakan obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi mikroorganisme patogen pada manusia, hewan, dan tumbuhan.