Ketua Umum FLP: Budaya Baca Belum Jadi Tren 

MUS • Monday, 22 Nov 2021 - 12:24 WIB

Jakarta - Literasi di Indonesia  perkembangannya dinilai masih rendah. Negara kepulauan ini sempat menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.

Ini juga dibenarkan dalam data Perpusnas, jika dirasiokan total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Artinya satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahun, sehingga Indonesia memiliki tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca.

Padahal dalam standar UNESCO, minimal setiap orang membaca 3 buku baru setiap tahun. Di negara Asia Timur seperti Korea, Jepang, China, rata-rata memiliki 20 buku baru bagi setiap orang.Ini menjadi tantangan bagi negara dan paling mendasar, kenapa budaya membaca di Indonesia rendah.

Ketua Umum  Forum Lingkar Pena (FLP) Gegge Mappangewa berpendapat bahwa sebetulnya rendahnya literasi di Indonesia, karena membaca belum menjadi tren. 

“Tren membaca buku best seller memang ada, tapi lagi-lagi itu hanya di ranah orang-orang yang mampu membeli dan mengoleksi buku,” kata pria yang terpilih menjadi Ketua Umum dalam Munas ke-5 Forum Lingkar Pena, 19-21 November ini. 

Ia menambahkan buku saat ini bukan hanya tak terjangkau dari segi harga, melainkan juga benar-benar tak terjangkau oleh tangan, karena masih minimnya perpustakaan dan rumah baca di Indonesia.

Selain masalah di atas juga masalah bergantinya tren membaca. Dari majalah, berganti buku kemudian digital. Menurut pria asal Bugis ini berganti tren itu wajar, karena semua ada zamannya.

“Misalnya di segmen bacaan. Ada peralihan dari zaman majalah yang tadinya menjadi tren, berganti dengan membaca buku, terutama majalah buat remaja. Dulu, buku-buku best seller jarang terdengar ketika zaman majalah menjadi raja bacaan para remaja. Namun setelah berpindah ke digital, majalah gulung tikar, pembaca beralih ke dunia buku cetak dan digital. Semua ada zamannya,” katanya.

Penulis Lontara Rindu juga menambahkan apalagi saat pandemi ini tren membaca sempat tiarap saat di awal pandemi. Namun, sekarang semakin bergiat. 

“Hanya di awal-awal saja benar-benar tiarap. Dibuktikan dengan terbukanya keran-keran diskusi meskipun melalui dunia maya.  Di mana-mana kelas menulis daring terlaksana. Event-event sastra pun semua tetap terhelat,” kata peraih Islamic Book Fair Award 2013

Namun, menurutnya masalah ini cukup teratasi dengan adanya Gerakan Literasi Nasional yang diinisiasi oleh Kemendibudristek yang menyediakan buku-buku digital. Meski masih sebatas buku bacaan anak SD. 

“Sekolah-Sekolah juga menyediakan pokok baca setiap kelas meski di pandemi semua kegiatan Gerakan Literasi Sekolah nyaris terhenti total bahkan menyebabkan learning loss pada anak-anak,” kata penulis produktif dan berprestasi dari komunitas yang telah berdiri sejak 24 tahun lalu.

Apa Solusinya?

Pria yang bernama asli Sabir ini berharap pemerintah memudahkan juga memurahkan biaya cetak agar produksi buku semakin banyak, dan penyebarannya merata dan terjangkau. Meski peningkatan jumlah taman baca meningkat, tapi itu masih jauh dari kata banyak.

“Jika minat baca tinggi, maka perpustakaan dan taman baca di kota mana pun akan kewalahan melayani pengunjung. Itu jika melihat literasi dari minat baca-tulis ya,” katanya.

Sebagai ketua umum dari komunitas literasi dan telah mempengaruhi tren buku bacaan di Indonesia. Ia berencana FLP ke depan akan semakin memperbanyak karya, baik itu cetak maupun digital. 

“Jika dulu FLP sangat identik dengan karya fiksi, dari tahun ke tahun FLP semakin banyak penulis di genre mana pun. Pemulis cerita anak, remaja, fiksi dan nonfiksi, bahkan penulis jurnal pun ada di FLP.  Intinya, FLP harus menyesuaikan perkembangan literasi agar bisa tetap eksis sebagai organisasi literasi yang mencerahkan.  Kami akan tetap mendesain konsep agar karya-karya FLP bisa tetap eksis,” kata pemenang Sayembara Bahan Bacaan Anak Kemendikbud 2017

Untuk diketahui Forum Lingkar Pena baru saja menyelenggarakan Musyawarah Nasional yang ke-5 di Malang, 19-21 November 2021. Dalam penyelenggaraan Munas tersebut, Basir atau lebih dikenal nama penanya, Gegge Mappanggewa terpilih menjadi Ketua Umum periode 2021-2025.

Selain menetapkan Gegge sebagai Ketua, Munas FLP juga menetapkan Habiburrahman El Shirazy sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Forum Lingkar Pena Periode 2021-2025 dan Rahmadiyanti Rusdi sebagai Ketua Komisi Pelaksana Munas VI Tahun 2025.