Sepenggal Kisah Cinta Mensos Risma dan Penari Topeng

MUS • Monday, 22 Nov 2021 - 09:43 WIB

Surabaya - Toko “Diah Cookies” sedang ramai pengunjung. Maklum, Sabtu pagi (20/11) itu, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengajak jajaran pejabat tinggi madya dan pratama Kementerian Sosial belanja kuliner di industri rumahan yang pernah dibesarkan Mensos saat menjadi Wali Kota Surabaya, tersebut.

Di tengah hiruk pikuk, tiba-tiba Mensos keluar dari toko, ke arah jalan. Sejenak ia seperti mencari-cari sesuatu. Segera ia menemukan yang dicari dan bergegas berjalan cepat mendekati. Sosok yang menarik perhatian Mensos adalah seorang ibu berkostum hijau dan bertopeng. 

Ia tengah menari diiringi lagu dari “tape deck” berpengeras suara portable. Ibu ini tengah menghibur anak-anak di Jalan Ketandan Baru II No.6-A, Kelurahan Genteng, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Tampak seorang anak warga kampung ikut menari mengikuti alunan musik.

“Eh, sik sik. Kowe ini laopo? Laopo ngene iki (Eh, sebentar. Kamu sedang apa? Ngapain seperti ini?),” kata Mensos dengan logat suroboyoan kental (20/11). Si ibu penari pelan-pelan menghentikan aksinya. Tangannya ditangkupkan di muka dan badannya membungkuk.

“Kowe iki laopo ngeni iki? Ra enek kerjo liyane (Kamu ini sedang apa? Apa ngga ada pekerjaan lain) ?,” kata Mensos lagi. Si ibu penari terdengar langsung menangis.

"Kulo nderek sepuro bu (Saya mohon maaf bu),” kata si ibu. Di tengah suasana gerimis yang menyapu Kota Pahlawan, Mensos mengajak si ibu duduk di emperan rumah warga, dan berbincang. Dari identitas KTP, nama si ibu adalah Sepiati, warga Tambak Asri, Surabaya.

“Njajal crito o, ngopo kok kowe ngene iki. Ga onok kerjoan liyani tah,” kata Mensos kepada Sepiati. Yang ditanya bukannya bercerita, malah menangis. Ia menangis makin keras. Sesenggukan. “Nderek sepuro bu (Mohon maaf bu).”

Pelan-pelan, Sepiati akhirnya bercerita. Hidupnya tengah kesusahan. Suaminya hanya pengayuh becak dengan pendapatan tidak bisa diandalkan. Sehari-hari, ia berdagang sayur di rumah kontrakannya. Biaya kontrak Rp750 ribu dan biaya hidup sehari-hari dengan satu anak sekolah SMP, lebih tinggi dari penghasilan. 

Akhirnya, ia terjerat utang sampai Rp5 juta. Maka, siang setelah dagang sayuran selesai, Sepiati mulai mengenakan kostum hijau dan memasang topeng. Ia berkeliling kampung, menari dan berharap mendapatkan pemasukan tambahan untuk membayar hutang.

“Utang kulo kathah bu. Bojo kulo tukang becak" katanya (hutang saya banyak bu. Suami saya pekerjaannya sebagai tukang becak)

"Piro utangmu (berapa nilai hutangmu)?"

"Gangsal yuto bu (lima juta Bu)," tangis Sepiati kembali pecah. Mensos menepuk pundak perempuan 47 tahun itu. 

"Wes saiki bukaen. Buka. Wes ra usah nangis (Sudah sekarang buka topengnya. Ngga usah menangis)," kata Mensos. 

Ia lalu menawari Sepiati pekerjaan yakni menjadi penyapu jalanan. "Dadi tukang sapu gelem? Gajine lumayan, petang yuto. Gelem? Tapi ojo kerjo ngene meneh. Yo (Jadi tukang sapu jalan mau ya? Tapi berhenti jadi penari topeng. Ya)?" 

Sepiati tidak menjawab. Ia masih sibuk megusap matanya.

"Kowe pindah rumah susun yo. Tak golekno. Timbang ane mbayar pitu seket. Enak pitung puluh ewu thok. Gelem (Kamu pindah rumah susun ya. Saya Carikan. Daripada membayar Rp750 ribu, lebih baik ke rumah susun hanya membayar Rp70 ribu),?" kata Mensos. 

Untuk mengkoordinasikan pelayanan terhadap Sepiati, Mensos kemudian menghubungi Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. 

Mensos juga menginstruksikan kepada staf dan jajaran terkait di Kemensos untuk menindaklanjuti kebutuhan Sepiati. 

Ditinggalkan Mensos dan rombongan, Sepiati seperti tidak percaya. Ia masih terbengong. Dengan terbata-bata ia mengaku bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Mensos Risma.

"Nggih mboten nginten kepanggih terus dibantu Bu Risma. Matur nuwun Bu Risma. Mugi penjenengan sehat panjang umur (Tidak mengira bertemu dan dibantu Bu Risma. Terima kasih Bu Risma. Semoga ibu sehat dan panjang usia), " katanya. (Her)