Dosen Bahasa Indonesia UKI, Teguh Prasetyo: Bahasa Menjadi Elemen Penting untuk Pemersatu Bangsa Indonesia

MUS • Wednesday, 10 Nov 2021 - 12:37 WIB

Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa kembali menggelar kegiatan kebahasaan dan kesastraan pada bulan Oktober, sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menurut Dosen UKI Pengampu Mata Kuliah Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra dan Bahasa UKI,  Teguh Prasetyo, bulan bahasa digagas di Oktober salah satunya karena merangkap peringatan awal deklarasi bahasa Indonesia sebagai identitas dan persatuan bangsa.

Tentunya, menindaklanjuti peran bahasa yang amat penting itu, bulan bahasa tidak hanya sekadar peringatan, tetapi juga sebagai salah satu agenda pelestarian dan pengembangan budaya  bangsa. Dengan begitu, ini akan memperkuat kesadaran kebangsaan, mulai kesadaran identitas dan persatuan bangsa.

Teguh berpendapat, bahasa menjadi elemen penting untuk mengingat apa dan siapa Indonesia itu. Ia menegaskan, kalau tanpa bahasa, makna identitas bangsa pasti limbung. Acara dan aktivitas berkaitan bulan bahasa itu tidak boleh hanya jadi simbol yang usang di meja-meja akademis dan pengamat saja. Karena sejatinya, wawasan bahasa bukan hanya milik mereka para pemerhati dan pemelajar bahasa, melainkan seluruh rakyat Indonesia.

“Kesadaran tentang identitas, pelestarian dan pengembangan budaya juga melekat di benak seluruh elemen masyarakat. Bentuk acara seperti apa yang patut direalisasikan, itu tentunya kita pikirkan bersama, yang menampung keikutsertaan seluruh masyarakat. Bahkan, tidak menutup diri untuk Warga Negara Asing yang ingin dan mau turut serta dalam berkesadaran berbahasa Indonesia tersebut,” kata Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Kristen Indonesia menerangkan.

Menurut Teguh Prasetyo, bentuk strategi budaya lewat bahasa memang harus kontekstual karena berkaitan dengan siapa saja yang hidup pada konteks zaman. Jika saat ini kita masih  berada pada kondisi dan kebiasaan baru karena pandemi, tentunya strategi budaya itu juga menyesuaikan. Kondisi normal baru yang menimbulkan beberapa fenomena kebiasaan berbahasa yang baru juga.

Selanjutnya, Teguh menyatakan, fakta bahwa masyarakat kini yang lebih banyak masuk ke realitas maya dari pada sebelumnya harus dipupuk kembali kesadaran akar budayanya (dalam konteks ini melalui bahasa). Hal ini, menurutnya, berkaitan dengan bahaya yang mungkin muncul karena rapuhnya batas kebangsaan di dunia maya.

Di sisi lain, Teguh melihat banyak hal positif berkaitan akses ilmu dan wawasan dari luar. Namun demikian, ada potensi imperialisme budaya maupun apropriasi budaya jika kesadaran identitas dan bahasa tidak diperhatikan. “Selain itu, menyadari bahasa sebagai wadah dalam berkomunikasi, kesadaran berbahasa yang baik juga menuntun pemahaman yang baik antarwarga dalam hal bertukar informasi yang valid, sehingga akan meminimalisasi potensi perpecahan dan ketidakpercayaan,” tungkasnya.

Berkait trigatra bangun bahasa yang menjadi strategi budaya sejak lama, Teguh menuturkan bahwa hal itu tentu menjadi agenda yang selalu dibawa dalam peringatan bulan bahasa. Pelestarian bahasa daerah juga menjadi bentuk perhatian mengingat semakin lama penutur asli bahasa daerah semakin berkurang. Kesadaran pelestarian bahasa daerah menjadi PR yang perlu jadi agenda penting, terutama di benak generasi muda. Sebab, saat ini, perhatian terhadap mata pelajaran bahasa asing di sekolah lebih dominan daripada bahasa daerah.

Jadi, kata Teguh, mengenal budaya global tanpa mengenal akar budaya itu seperti hidup sebagai Sisifus yang tidak tahu kenapa ia harus mendorong batu ke puncak gunung, lalu Dewa menggulingkan batu itu kembali ke lembah. “Penguasaan bahasa Asing tentunya perlu karena itu menjadi modal untuk memperkaya diri akan ilmu, budaya, dan kesempatan dari luar sana. Mengenai realisasi kesadaran bahasa di sekolah, kita perlu evaluasi lagi bentuk dan implementasinya,” ungkap   Dosen Bahasa Indonesia, Universitas Kristen Indonesia ini.

Sejauh dari pengamatan Teguh Prasetyo, strategi budaya dalam konteks bahasa sejauh ini turun dari “atas” ke “bawah”. Dari organisasi pemerintah dan akan diikuti masyarakat. Untuk itu, kata Teguh, mungkin perlu mengangkat sebuah momen di mana masyarakat sebagai pemegang bahasa menjadi subjek atas perilaku berbahasa dan berbudayanya sendiri. Menurutnya, pengangkatan isu bahasa Indonesia dan daerah sejauh ini menjadi kajian mereka yang meneliti perilaku berbahasa sebagai objek.

“Subjektivitas masyarakat dalam berbahasa perlu disuarakan untuk kemudian dikaji bersama sebagai perumusan ulang makna bahasa dan budaya di Indonesia. Bentuk nyatanya bisa kita pikirkan bersama dengan berbagai kalangan yang aktif di masyarakat,” pungkas Teguh Prasetyo.