PSW LPPM UKI: Pengesahan RUU PKS untuk Menjamin Penegakan serta Perlindungan Hukum Bagi Korban Kekeraan Seksual

MUS • Wednesday, 10 Nov 2021 - 12:33 WIB

Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyebutkan diperlukan Undang-Undang tersendiri yang khusus dan komprehensif mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) diharapkan menjadi upaya pembaharuan hukum yang bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani dan melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

“Dibutuhkan sistem pencegahan kekerasan seksual yang komprehensif. RUU PKS diharapkan mengatur mengenai pencegahan kekerasan seksual di berbagai bidang, melihat banyaknya korban kekerasan seksual yang berusia anak-anak. Upaya pencegahan sedini mungkin perlu dilaksanakan dan dilindungi Undang-Undang,” ujar Ali Khasan sebagai Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan yang membacakan keynote speech dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam Webinar Nasional Diskusi Feminis: Mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PSW LPPPM) UKI (08/11).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menegaskan pembentukan peraturan undang-undang perlu dikawal baik dalam penyusunan dan perumusannya, sehingga cakupan dan tujuan undang-undang dapat dirumuskan secara komprehensif. Hal ini dikarenakan secara dasar penyusunan RUU PKS merupakan komitmen dan mandat dari Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.

Akademisi Universitas Kristen Indonesia yang juga merupakan Kepala LPPM UKI, Dr. Aartje Tehupeiory, menjelaskan Komnas Perempuan mencatat jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya meningkat karena terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis dan seksual. Bentuk kekerasan terus berkembang, mulai dari kekerasan luring hingga kekerasan daring melalui media virtual.

“Lembaga pendidikan bersama semua pihak yang terkait terhadap kekerasan seksual dapat bekerja sama untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual dalam perspektif memberi keadilan pada korban. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah pembentukan Pos Pelayanan Perempuan dan Anak di Lembaga Pendidikan, memberikan bantuan bagi anak yang kurang mampu untuk memperoleh akses keadilan, dan memberikan bantuan hukum,” tutur Dr. Aartje Tehupeiory.

Ketua Tim Advokasi Hukum dan HAM MPK ini juga menjelaskan perlu adanya perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan yaitu dengan adanya upaya progresif dalam pencegahan kekerasan dengan pengesahan RUU PKS. Hal ini penting dilakukan untuk menjamin penegakan serta perlindungan hukum yang maksimal bagi perempuan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah pembentukan Gugus Tugas RUU PKS, pembahasan RUU PKS melibatkan lintas komisi di DPR, mendesak RUU PKS  menjadi prioritas prolegnas, dan adanya dialog edukasi perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan.

Dosen Ilmu Komunikasi UKI, Formas Juitan Lase, menjelaskan bahwa sumber pengetahuan dan informasi masyarakat terkait kekerasan seksual utamanya diperoleh dari media massa. Karena itu penting sekali media memberitakan kekerasan seksual secara adil dan berperspektif korban.

“Jurnalis wajib mengedepankan perspektif korban kekerasan seksual dan wajib kritis atas pernyataan narasumber dan pelaku, serta wajib hati-hati dalam memilih diksi dalam menggambarkan peristiwa perkosaan yang dialami korban,” ujar Peneliti di Pusat Studi Wanita UKI ini.

Kegiatan ini turut dihadiri Rektor UKI Dr. Dhaniswara K. Harjono, dan Komisioner Komnas Perempuan Republik Indonesia, Prof. Alimatul Qibtiyah.