Bersenandung dalam Misteri Glamornya Last Night in Soho

MUS • Wednesday, 3 Nov 2021 - 15:08 WIB

Genre: Thriller, Horor
Sutradara: Edgar Wright (Baby Driver, Scott Pilgrim Vs The World)
Pemeran: Thomasin McKenzie (Leave No Trace, Jojo Rabbit), Anya Taylor-Joy (Emma, The Queen’s Gambit), Matt Smith (Doctor Who, The Crown) 
Durasi: 2 jam
Distributor: UIP Movies Indonesia
Mulai tayang di bioskop Indonesia: 3 November 2021

Inggris era 60-an bukan melulu tentang The Beatles. "Last Night in Soho" mengingatkan kembali eksistensi Swingin' Sixties dan '60s sessions band' dengan dominasi Mellotron. 

Penonton akan terhibur atau mengenal musisi top pada masanya, termasuk solo semacam Cilla Black maupun band pop "Dave Dee, Dozy, Beaky, Mick & Tich" yang membawakan lagu "Last Night in Soho" (1968). 

Suara kawasan hiburan di London, Soho, pada tahun 60-an menyatu dengan adegan masa kini saat tokoh utama Eloise (Thomasin McKenzie) tersedot lebih jauh ke masa lalu.

Sebagai mahasiswa baru kampus mode ternama di London, Eolise sebenarnya ingin memulai masa depan. Dia meninggalkan nenek dan rumahnya di pedesaan. Tetapi Eloise terobsesi dengan masa lalu, merindukan era 60-an, dan sangat ingin mengalami London tahun 60-an dengan segala kejayaannya. Namun, kemampuan psikis Eloise membuatnya mendapat kesempatan lebih, daripada yang dia sadari.

Karena tidak bisa cocok bergaul dengan kawan-kawan di asrama, Eloise menyewa kamar di atas sebuah rumah tua milik induk semang, Ms Collins (Diana Rigg). Dengan perasaan gelisah namun penuh harapan untuk awal yang baru, Eloise terus menerus bermimpi ke tahun 1960-an.

Tetapi apakah penglihatannya di malam hari, hanyalah mimpi? Eloise menjelma menjadi Sandie (Anya Taylor-Joy), bintang muda tahun 1960-an yang sedang meniti karier, saat dia masuk ke Café De Paris. 

Sandie adalah calon penyanyi, penari, aktris, bintang – dan dia sangat ingin mengesankan orang lain. Semua impian Sandie tampaknya menjadi kenyataan saat dia bertemu dengan Jack (Matt Smith), manajer menawan yang mungkin dapat mempromosikan kariernya. Eloise pun 'hanyut' dalam petualangan Sandie, yang memabukkan cinta pertama, di bawah sorotan lampu terang, demi mimpi besar. 

Eloise yang hidup saat ini, begitu terpesona dengan Sandie. Eloise menjadikannya sebagai panutan dan semangat membimbingnya. Calon perancang mode itu mewarnai rambutnya agar lebih terlihat seperti teladannya. Dia hidup untuk menjalani malam ketika bisa kembali bergabung dengan masa lalu, dalam mimpinya. 

Ketika hidup Sandie di tahun 60-an berubah menjadi lebih gelap, Eloise pun makin terobsesi melindunginya. Mimpi tahun 60-an itu sekarang penuh dengan kengerian, yang sebenarnya kenyataan. Mimpi tampaknya telah merembes ke dalam kehidupan sehari-hari Eloise. Masalah Sandie pun menjadi beban Eloise. 

Apakah ada cara untuk mengubah masa lalu dan menyelamatkan Sandie? Bisakah Eloise memecahkan misteri berusia puluhan tahun sebelum dia juga berada dalam bahaya? 

Hentakan musik bersama kegalauan liriknya, ditambah setting glamornya dunia hiburan dan fashion, menjadi pembeda horor "Last Night in Soho" dibanding 'thriller' biasanya. Kengerian demi kengerian adegannya dihiasi lagu-lagu yang enak disenandungkan. 

"Inilah mimpi buruk yang berhiaskan neon warna-warni. Gelap, tetapi kegelapan disandingkan dengan kilatan warna yang sangat terang ini. Dunia yang realistis, tetapi dunia yang tertanam kuat dalam mimpi" kata pemeran Sandie, Anya Taylor-Joy.

Penulis skenario Krysty Wilson-Cairns menyebut karya layar lebar ini sebagai surat cinta. “Last Night in Soho adalah surat cinta untuk bagian tertentu dari London, dan ke masa lalu ketika Rolling Stones dan Putri Margaret bergaul. Ini adalah surat cinta untuk masa lalu, tetapi juga peringatan untuk tidak melihat ke belakang dengan terlalu banyak nostalgia, atau menutupi perut yang kumuh.”

Dengan kata lain, ini adalah cerita yang penuh dengan kontradiksi – dan itulah yang diinginkan Sutradara Edgar Wright.

Pengalaman menonton "Last Night in Soho" sulit untuk dipisahkan dengan karya Edgar sebelumnya, "Baby Driver", action thriller 2017 yang juga dipenuhi lagu-lagu nostalgia.  

"Saya suka London dan saya suka tahun enam puluhan. Tetapi dengan kota ada hubungan cinta-benci. Bisa brutal dan indah dalam ukuran yang sama. Selalu berubah, dengan gentrifikasi dan arsitektur baru, perlahan mengubah lanskap. Dengan semua ini dalam pikiran, mudah untuk meromantisasi dekade sebelumnya," jelas Edgar. 

Dualisme yang terkadang kontradiktif itu, menginspirasi "Last Night in Soho". Beberapa kombinasi dari jalan-jalan gelap Soho, gema "Swinging London" tahun 1960-an, kecintaan lama pada musik pada periode itu; dan obsesi dengan film 'gelap' pada dekade yang sama, datang bersama untuk memberi Edgar sebuah ide, yaitu sebuah cerita tentang perempuan idealis, yang mengikuti mimpi mereka ke Soho, dan menemukan sesuatu yang jauh lebih gelap menunggu di sana. (MAR)