Tujuh Aspek Tata Ulang Kesehatan Global

MUS • Sunday, 31 Oct 2021 - 12:26 WIB

Prof Tjandra Yoga Aditama
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kepala Badan LitBang Kesehatan

 
Pada KTT G20 di Italia 30 Oktober kemarin Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan berisi pesan yang amat kuat, “Dunia harus melakukan Tata Ulang Arsitektur Ketahanan Kesehatan Global”, sebagaimana juga disampaikan Presiden Jokowo pada Sidang Umum PBB September lalu. Tentu pengertian “Tata Ulang” cukup luas, dan saya usulkan sedikitnya 7 aspek yang mungkin perlu dikaji lebih mendalam.
 
1. Pandemi COVID-19 harus menjadi katalis untuk perubahan yang sistematis dan mendasar. Dibutuhkan tatanan global yang baru (“new global framework”) untuk mendukung pencegahan dan perlindungan terhadap kemungkinan pandemi di masa datang. Ini harus dilakukan sekarang. 
 
2. Sehubungan Aktifitas kesehatan lintas batas negara maka kita perlu mengacu pada “International Health Regulation (IHR)”. Sedikitnya ada tiga hal disini:

2.1 Aturan mengenai pandemi tidak ada dalam “International Health Regulation”, yang ada hanyalah istilah “Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)”. Padahal pandemilah yang sekarang memporak pandakan dunia

2.2. Pada 2011 ketika saya menjadi anggota “The International Health Regulations Review Committee” sudah kami simpulkan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi H1N1 ketika itu ("the world is ill-prepared”). Sepuluh tahun kemudian, pada 2021 “Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response” kembali menyebut dunia tidak siap menghadapi pandemi, kali ini disebut sebagai “the world was not prepared”. Artinya, dengan upaya penerapan IHR selama 10 tahun sejak 2011 sampai 2021 maka dunia tidak juga siap menghadapi pandemi.

2.3. Tentu masih ada berbagai aspek lain dari “International Health Regulation” yang perlu dikaji untuk menilai apakah masih relevan dan atau perlu perubahan mendasar. Mungkin diperlukan suatu aturan yang lebih baik, lebih lengkap dan punya aspek legal yang lebih kuat, dalam bentuk “Pandemic Framework Convention”. 

Sebagai anggota WHO dan apalagi Presidensi G-20 Indonesia tentu punya peran penting dan bahkan kepemimpinan strategis untuk mengkaji IHR dan pembentukan Konvensi Pandemi untuk menyelamatkan dunia ini.
 
3. Dunia dan semua negara harus melakukan investasi untuk program persiapan (“preparedness”), termasuk  jaminan ketersediaan obat, vaksin, alat kesehatan dan tentunya tenaga kesehatan terampil.
 
4. Penganggaran kesehatan dunia perlu jadi prioritas penting, melalui IMF, Bank Dunia  serta badan keuangan regional menjadi
 
5. Perlunya adanya jaminan komitmen tinggi di tingkat kepala negara/kepala pemerintahan di dunia untuk menjalankan berbagai program kesehatan masyarakat, termasuk mengatasi masalah penyebaran penyakit melewati lintas batas negara.
 
6. Amat pentingnya kegiatan surveilans di dunia, antar negara dan di dalam negara masing-masing, agar dapat diketahui data lengkap tentang kecenderungan (“trend”) penyakit dan masalah kesehatan, utamanya yang mungkin berpotensi menyebar luas di dunia.
 
7. Perlu ada penguatan yang jelas bagi peran dan fungsi WHO, dalam hal kemandirian, otoritas dan anggarannya. Hal ini perlu terwujud di WHO tingkat pusat, diberbagai kantor regional serta perwakilan-perwakilan WHO di negara-negara anggota.
 
Ketujuh hal di atas memerlukan kajian diplomasi kesehatan internasional yang mendalam. Kita punya amat banyak pengalaman dan sarat pengetahuan di bidang ini. Indonesia dapat dan harus berperan besar dan bahkan ikut memimpin tata ulang kesehatan global, termasuk dalam Keketuaan Indonesia di G20 yang akan diterima hari ini dari Italia, demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan demi nama harum bangsa.