Ketua DPD: Pasal 33 Harus Dikoreksi Agar Kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila 

AKM • Thursday, 28 Oct 2021 - 10:35 WIB

Jakarta - Wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini sedang bergulir, harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Tidak hanya sistem tata negara, tetapi juga sistem atau kebijakan perekonomian nasional. Amandemen ke-5 harus mengoreksi apa yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD hasil Amandemen yang lalu.

Demikian disampaikan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dalam Rapat Kerja Nasional ke-7 Federasi Serikat Pekerja Sinergi (FSPS) BUMN di Palembang, Rabu (27/10/2021), secara virtual. 

“Seperti kita ketahui bersama, UUD negara kita telah mengalami Amandemen 4 Tahap, di tahun 1999 hingga 2002. Termasuk Pasal 33 juga bertambah menjadi 5 ayat yang sebelumnya 3 Ayat. Dengan penambahan 2 ayat hasil Amandemen yang lalu itu sadar atau tidak cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, telah diserahkan kepada pasar. Padahal cita-cita para pendiri bangsa sama sekali bukan itu,” kata LaNyalla. 

Para pendiri bangsa melahirkan sistem ekonomi yang dikelola dengan Azas Kekeluargaan atau Sistem Ekonomi Pancasila. Ini dibangun karena melihat pengalaman ratusan tahun di bawah era kolonialisme penjajah. 

Menurut LaNyalla, sistem ekonomi itu dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945, Naskah Asli, yang terdiri dari 3 Ayat. Intinya kekayaan Sumber Daya Alam negeri ini harus dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

“Oleh karena itu Negara harus hadir untuk memastikan terwujudnya kemakmuran itu. Caranya menurut saya dengan memisahkan secara jelas antara koperasi atau usaha rakyat, BUMN dan swasta. Namun tetap berada di dalam struktur bangunan ekonomi Indonesia,” lanjut Mantan Ketua Umum PSSI itu.

LaNyalla menganalogikan ekonomi Indonesia itu seperti kapal yang dirancang dengan tiga palka, yaitu; Koperasi, BUMN dan Swasta. Dengan tiga palka itu, seandainya kapal bocor, tidak sampai tenggelam. Misalnya, palka BUMN bocor, masih ada Swasta dan Koperasi. Andaikan palka BUMN dan Swasta bocor, masih ada Koperasi, yang tetap solid menjaga kapal tetap stabil. 

“Oleh karena itu bagi rakyat yang tidak punya akses modal dan teknologi, negara wajib hadir memberikan ruang Koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat. Mereka diberi hak mengorganisir dirinya sendiri untuk mendapatkan keadilan ekonomi. Negara juga harus menjamin agar BUMN dan Swasta yang punya modal dan teknologi tidak masuk ke ruang yang dikelola koperasi,” jelasnya.

Inilah yang disebut dengan ekonomi gotong royong atau ekonomi pancasila seperti cita-cita Bapak Koperasi, Mohammad Hatta. Dimana Koperasi seharusnya dimaknai sebagai cara atau sarana berhimpun rakyat, dengan tujuan untuk memiliki secara bersama-sama alat industri atau sarana produksi. 

“Sehingga para anggota Koperasi, sama persis dengan para pemegang saham di lantai bursa. Bedanya, jika pemegang saham di lantai bursa bisa siapapun, termasuk orang Asing. Maka Koperasi hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia,” papar dia. 

Mengenai BUMN, LaNyalla menegaskan untuk wajib masuk ke sektor usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Seperti listrik, transportasi, telekomunikasi, air Bersih dan lainnya. BUMN harus bertugas di sektor yang membutuhkan Hi-Teknologi, sekaligus yang beresiko tinggi. 

“Boleh bermitra dengan swasta atau asing namun kendali utama tetap berada di BUMN. Sebab sektor-sektor itu tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar melalui swasta apalagi asing,” jelasnya. 

Ditambahkan oleh Senator asal Jawa Timur itu, negara juga harus memastikan bahwa industri-industri hulu, atau industri-industri berat di sektor strategis, yang dibangun di era Orde Lama dan Orde Baru tidak boleh dibiarkan mati hanya karena sudah tidak efisien lagi dibanding impor. 

Justru sebaliknya harus direstorasi. Karena sebagai negara yang besar dan tangguh, memiliki heavy industries di sektor-sektor strategis adalah mutlak untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi. 

“Memang menutup atau membubarkan BUMN yang sudah tidak efisien lebih mudah ketimbang melakukan restorasi. Tetapi menurut saya tidak benar jika negara sebesar Indonesia tidak memiliki heavy industries. Karena semua negara maju dan besar, pasti memiliki industri hulu di sektor-sektor strategis,” bebernya. 

Semua hal itu, kata LaNyalla, sesuai pemikiran luhur para pendiri bangsa dalam merancang Indonesia masa depan, dengan tujuan agar Indonesia sampai kepada tujuan hakiki lahirnya bangsa ini, yaitu terwujudnya kemakmuran rakyat melalui Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.