Tantangan Kerja Sama Keamanan di Perairan ASEAN oleh Indonesia

ITK • Wednesday, 27 Oct 2021 - 14:36 WIB

Jakarta -  Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar telah lama menyadari adanya ancaman keamanan maritim, baik di wilayah laut teritorial maupun laut di kawasan Asia Tenggara. Keamanan di wilayah laut sangat penting karena hampir 90% akomoditas strategis dan kebutuhan energi negara-negara di kawasan ASEAN dilakukan melalui transportasi laut. Di samping itu, laut merupakan sumber daya alam yang sangat menunjang pertumbuhan ekonomi negara termasuk Indonesia. Namun laut juga menjadi tempat terjadinya tindakan kriminal dan insiden yang berpotensi mengganggu keamanan maritim nasional Indonesia, regional dan juga dapat menimbulkan gesekan politik di antara negara-negara di kawasan Indo Pasifik.

Permasalahan keamanan di wilayah perairan terus berkembang. Jika sebelumnya didominasi oleh masalah keamanan tradisional, saat ini permasalahan tersebut berkembang menjadi masalah keamanan non-tradisional, dan terus meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Collins terkait keamanan laut, yaitu bahwa “perluasan permasalahan keamanan non-tradisional mencakup keamanan lingkungan dan keamanan ekonomi. Keamanan lingkungan berkaitan erat dengan kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, dan konflik”.

Terkait ancaman terhadap keamanan maritim secara tradisional, pembicara pertama dalam webinar, Sekretaris Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Dr. Begi Hersutanto menyebutkan tentang kehadiran Tiongkok dan Amerika Serikat yang satu sama lain melihat kehadiran pihak lainnya di Laut Tiongkok Selatan sebagai ancaman. Kondisi ini dilatarbelakangi kemajuan ekonomi dan peningkatan alutsista Tiongkok, serta klaim sepihak Tiongkok terhadap nine dash line di perairan ini. Di sisi lain, semakin kuatnya kerja sama quadrilateral dan kehadiran AUKUS yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris dan Australia.

Pembicara kedua, Konsul Jederal RI Toronto, Leonard Hutabarat, Ph.D,  lebih menyorot kepada ancaman keamanan maritim yang bersifat non-tradisional, seperti pencurian bersenjata dan serangan pembajakan kapal. Itu sebabnya, negara-negara pesisir pantai di kawasan perlu lebih mengedepankan kerja sama dan bukan persaingan yang hanya akan makin menimbulkan ancaman keamanan secara tradisional. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam ASEAN Outlook on Indo-Pacific.

Pembicara selanjutnya, yang juga peneliti Cesfas, Ibu Ruth Hanna Simatupang dan Jianly Imanuel Bagensa, melihat bahwa salah satu tantangan kerja sama keamanan maritim di Indonesia dan ASEAN adalah perbedaan persepsi dari para pembuat kebijakan dalam membuat kerja sama, serta persepsi ancaman yang berbeda dari negara-negara ASEAN. Itu sebabnya, kedua pembicara ini merekomendasikan perlunya penyamaan interpretasi terhadap Pasal 100-105 UNCLOS 1982 dan batasan tentang kejahatan di laut menurut International Maritime Organization.

Selain itu, penguatan fungsi lembaga/forum regional yang mewadahi kerjasama keamanan di kawasan harus dilakukan, dan salah satunya adalah dengan membangun pusat data informasi terkait kasus keamanan maritim di kawasan. Kerja sama juga perlu dilakukan dengan merancang kegiatan operasional dan latihan bersama di perairan ASEAN, termasuk kerjasama intelijen di wilayah perbatasan di laut.

Acara yang diselenggarakan oleh Center for Security and Foreign Affairs Studies (Cesfas), Prodi Hubungan Internasional Fisipol UKI ini dilakukan secara daring melalui aplikasi Zoom dan Youtube dan dihadiri lebih dari 220 peserta termasuk perwakilan pemerintah, dosen, mahasiswa dan publik/masyarakat umum. Kegiatan ini didedikasikan untuk mengenang karya dan pemikiran Alm. Siti Merida, dosen Prodi HI yang sebelumnya menjabat Direktur Cesfas (2016-2021) dan pernah sebagai Ketua Prodi HI, Fisipol UKI (2009-2015). Bertindak sebagai moderator dalam kegiatan ini adalah Dra. VL. Sinta Herindrasti, M.A (Ka. Prodi HI, Fisipol UKI), dan sebagai MC adalah Josephine, mahasiswa HI angkatan 2019. (*)