Keberhasilan Pancasila Menghadapi Pluralisme di Mata Orang Asing

MUS • Monday, 25 Oct 2021 - 12:00 WIB

Jakarta - Pancasila dinilai cukup berhasil memengaruhi masyarakat dalam menghadapi pluralisme. Karena keberhasilannya itu, negara lain dianggap bisa mencontoh pluralisme di Indonesia.

"Di China terdapat masalah etnis, ada etnis minoritas yang mengalami penderitaan, kaum Xinjiang. Mungkin Indonesia bisa menjadi contoh," kata Prof. Donald K. Emmerson, Senior Fellow at the Freeman Spogli Institute for International Studies saat menjadi pembicara di Jakarta Geopoliticial Forum V Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta,  21 Oktober 2021. 

Selain Pancasila, pluralisme dinilai cukup berhasil, karena Indonesia mempunyai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Dengan keberhasian Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dimiliki, maka menurut Emmerson, Indonesia bisa menjadi jembatan peradaban bagi dunia mengenai pluralisme.

Emmerson juga menjelaskan , pada tahun 2020 Freedom House sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat,  memberikan sinyal bahaya terkait memburuknya indeks kebebasan di beberapa negara. Lembaga tersebut memberikan peringkat kepada 195 negara dalam laporannya, Freedom in the World 2020. Disebutkan bahwa 83 negara dinyatakan sebagai "bebas", 49 negara "tidak bebas", dan 63 negara dinyatakan sebagai "bebas sebagian".

"Tahun 2020 adalah tahun ke-15 berturut-turut di mana kebebasan global menurun. Sejak 2006, negara-negara yang mengalami penurunan kebebasan semakin banyak daripada yang mengalami kenaikan," kata Emmerson. Freedom House menyimpulkan bahwa resesi demokrasi semakin panjang dan dalam.

Emmerson juga melihat, globalisasi sekarang menuju  keadaan darurat. Dia  membagi dua jenis masalah terkait relevansi posisi dan peran negara dalam penyelesaian masalah yakni cockpit problem (masalah kokpit) dan mandate problem (masalah mandat). "Cockpit problem adalah masalah yang mendesak dan membutuhkan penyelesaian masalah dengan waktu yang singkat. Mandate problem mengarah ke demokrasi yang di dalamnya terdapat diskusi, ada ketidaksetujuan, juga pendapat mayoritas untuk menyelesaikan masalahnya," jelas Emerson.

Di sisi lainnya, Emerson juga memandang globalisasi menciptakan saling ketergantungan. "Jika ada suatu kesalahan di beberapa belahan dunia, akan berdampak besar. Sehingga memicu reaksi 'cockpit', bukan reaksi 'mandat', " jelas Emmerson.

Dr. Ryu Hasan menyebutkan peradaban global sangat berpengaruh dan bersifat  dua arah. Yang terjadi di Indonesia juga akan berpengaruh ke global. Dia mencontohkan,  kasus lonjakan pandemi kedua, akan mempengaruhi kondisi global. "Pasokan energi ke negara tetangga terganggu," kata Ryu.

Hanya saja secara geopolitik, pada zaman dulu terjadi tidak secara langsung.  Ryu mencontohkan,  Napoleon Bonaparte kalah perang, karena Gunung Tambora meletus, yang menyebabkan suhu bumi turun, sehingga meriam Napoleon tidak bisa ditarik. "Sekarang perilaku di Indonesia akan mempengaruhi negara tetangga. Misalnya tragedi India, tidak sampai sebulan, di Indonesia terjadi lonjakan. Juga pandemi yang terjadi di Wuhan, sudah mengubah pandangan politik seluruh dunia," kata Ryu Hasan.